<$BlogRSDURL$>

Sekilas perjalanan mengumpulkan kilau-kilau embun, dari padang-padang tandus, taman-taman kepedihan, rimba-rimba gelap,dan tinggi gunung harapan. Di mana jalan-jalan kususuri meretas belukar, menyibak onak duri, mengejar angin, merepih mimpi selalu ada kilau untuk di catat, di tafsirkan kembali, di beri arti. selamat membaca Titon Rahmawan

Thursday, July 06, 2006

KAKAWIN

I. Sunyi

Sudahkah kau layarkan bunga ke atas lembaran-lembaran kertas ini? Sebab langit tak akan pernah lagi mengirimkan hujan untuk membasahi tenggorokan bumi. Maka tuliskan saja segenap nyerimu, lantunkan saja segenap dukamu bersama deburan darah. Sekalipun kupu-kupu tak hendak sematkan namamu pada kilau bintang-bintang di langit, sekalipun ikan-ikan tak akan menggoreskan namamu pada gemuruh ombak samudra. Tak henti harap akan menjadi sebuah potret keterasingan; pada setiap goresan pena, pada setiap resah pensil dan karet penghapus. Kesunyian yang senantiasa terus bergema di atas papan keyboard dan mesin ketik. Semuanya, semuanya hanyalah sekedar tanda: degup demi degup yang keras bergema di dalam jantung, getar demi getar yang berpijar di dalam benak. Hingga purna seluruh pencarian. Segenap percakapan henti di dalam diri. Di dalam sunyi kata-kata.

II. Suara

Maka bacalah tarian burung dan bunga-bunga, dengarkanlah percakapan pohon dan rerumputan. Adakah engkau menemu larik-larik puisi memadat dalam desah nafasmu? Adakah engkau mendengar merdu nyanyian burung mengurai resah pencarianmu? Bila masih juga urung kau tulis sajak, mengapa tak kau coba tafsirkan mimpi? Sebab setelah kepergian para nabi tak ada lagi manusia yang dapat membaca kicauan burung selain para penyair. Maka teralah jejak, layangkanlah pandangmu ke segenap penjuru. Hamparkanlah senyap hingga ke batas penglihatanmu. Adakah kau temu nyeri sebatas duri tertanam di pojok jalan? Adakah kau dengar desau angin menggugurkan embun dari helai dedaunan? Rang-kumlah hasrat sebatas tuju, dan jangan lagi kau biarkan ragu halang jalanmu. Hingga purna waktu memanggil ke penghujung usia, tak akan habis suara kau baca segenap tanda-tanda di wajah zaman.

III. Sejarah

Adakah telah kau tafsir sejarah sejak berabad silam? Sunyi yang menyusun dirinya dari gema lonceng gereja, tajam perih kerikil, bulu-bulu yang gugur dari sayap burung gagak dan bau sampah yang membusuk? Siapakah manusia yang masih sanggup mengingat warna kelabu dari wajah sejarah? Selain pantulan kaca timah yang menempel di pintu-pintu gereja, gerbang-gerbang kayu yang megah, batu-batu berlumut, dan darah merah yang mengalir dari sebatang kapak. Rangkaian kisah, masih serupa rahasia. Sebab sejarah telah lama menutup dirinya di dalam kepalan tangan dan sebatang palu besi. Siapa manusia yang mampu mengurai kebekuannya?

Sejarah telah menjelma menjadi gergasi berwajah kelabu, dengan taring-taring besi menyala dan cakar berkilat. Mereka yang telah mengabdikan dirinya selama berabad-abad untuk tangan-tangan penguasa. Siapa berani menyangkal keberadaan mereka? Tiada tatap mata iba yang terpancar dari kedalaman mereka yang garang, karena tak ada hasrat selain kekuasaan, selain kekalnya sejarah di dalam kepalan tangan. Singasana berukir emas dan kilau mahkota yang akan menera seluruh kemegahan nama mereka. Sejarah yang telah lama tertulis, dan tidak untuk dilupakan. Sejarah yang tercatat dengan tinta merah sewarna darah. Siapa manusia yang berani mengusik keberadaan mereka, selain dirimu wahai para penyair?

IV. Surat

Yang terhormat Tuan Penyair, mengapa masih kau tuliskan sajak-sajak air mengalir dari punggung gunung ke tepian bukit, di mana telaga menera cinta sepasang angsa? Sedang di sini parit-parit kotaku tak menera apa-apa selain bau anyir darah, henti degup jantung, tumpukan sampah dan bangkai-bangkai yang kekal bau busuknya.

Yang terhormat Tuan Penyair, mengapa masih kau nyanyikan tembang-tembang kerinduan musim yang menitik dari langit ke hamparan sawah, di mana rumpun padi menera cinta di hati para petani? Sedang di sini langit kotaku tak menera apa-apa selain udara pengap bertuba yang tikamkan sejuta luka ke dalam dada-dada telanjang berpeluh.

Yang terhormat Tuan Penyair, mengapa masih kau bacakan larik-larik puisi yang agungkan kemegahan alam raya, keindahan panorama dan luapan seni? Sedang di sini pemandangan kotaku tak menera apa-apa selain deru hamparan debu dan rimba belantara beton dan baja yang tiada henti mencucuki mata. Sejak lama, jalan-jalan kotaku hanya mengucurkan sunyi dan gumpalan aspal menghitam.

Yang terhormat Tuan Penyair, mengapa masih kau rangkai syair dan madah pujian, himne dan ode yang ungkapkan kerinduan jiwa manusia kepada Khaliknya? Sedang di sini manusia-manusia kotaku tak menera apa-apa selain mata-mata yang kosong dan jiwa-jiwa beku yang tiada habis mengutuki diri sendiri.

V. Stasiun

Adakah pernah kau coba bertanya, mengapa duri sampaikan nyeri? Sedang diri masih rindu untuk merasai arti sebuah kebahagiaan? Adakah pernah terlintas pula dalam benakmu mengapa tanya jadi serupa pisau, sedang jawab bertebaran di sepanjang jalan pulang ke rumah? Barangkali kau dapat bertanya kepada angin, mengapa ia selipkan keresahanmu di sepanjang rel-rel roda kereta? Sedang sejak lama kau tahu, telah kau bungkam segala hasrat, karena sunyi malam telah meringkus segenap angan dalam dirimu dengan tali-tali kebimbangan. Tali-tali yang akan menahan laju gerbong-gerbong kereta itu menuju akhir perjalanannya.

Stasiun tak akan pernah lagi menghantarkan cahaya bagi kesendirianmu, semenjak berkas cahaya menjadi barang berharga yang diperebutkan orang di sepanjang peron dan beku bangku-bangku. Hanya ada sesayap senyap yang terus menerus membungkus dirinya dengan semacam kepiluan. Satu-satunya makhluk yang masih bersedia mendengar suaramu. Dia pulalah yang kemudian menemukan setiap keping keluh-kesah milikmu, yang terlanjur lekat menempel di atas jalur-jalur rel kereta yang mengeras. Sebuah momen kepedihan, yang walau hanya sesaat tapi sampaikan begitu banyak derita; ketika roda-roda kereta itu berderak dan melumatkan segenap keluh-kesahmu menjadi serpihan yang tak lagi berarti.

VI. Simurgh

Apakah kita pernah punya seorang penyair, yang tak pernah nyatakan dirinya sebagai dewa selain sebagai dawat yang mengalir dari pena semesta? Sebab begitu banyak hasrat yang hendak mengekalkan seribu gunung, mengalirkan seribu sungai dan melukiskan seribu lautan demi memperoleh sedikit saja pengakuan dari bumi.

Tapi, siapa manusia yang berani menyebut dirinya sendiri sebagai penyair di tanah ini? Siapa manusia yang berani menyatakan dirinya menemu satu-satunya kebenaran di dalam sajak? Sebab semenjak kepergian Adam telah terjadi seribu kekeringan di atas tanah ini. Dan hanya sekali hujan turun, yaitu ketika bahtera manusia terkandas di Gunung Ararat. Lalu manusia, masih harus kembali menerima seribu tandus sebelum kemudian terlahir seorang penyair yang akan memercikkan darahnya bagi pemulihan kembali harkat manusia di tanah ini.

Seperti kata seekor Simurgh: Hanya darah seorang penyair yang sanggup menera satu-satunya kebenaran, karena kebenaran tak akan turun kecuali atas kehendak semesta. Nyatanya kebenaran tak pernah ditulis kecuali oleh kebajikan seorang penyair. Bagi mereka yang insyaf: Kebenaran adalah sebuah rangkaian sajak, yang terlahir di bibir manusia dari kepenuhan hati semesta.

VII. Sepasang Mata

Saat ini, siapa yang tidak pernah tersentuh hujan? sekalipun mereka hanya mampu mendengarnya dan tak pernah sekalipun melihat titik-titik air yang basah itu terjatuh dari langit, turun membasahi kepala kita dengan semacam kegembiraan.

Di dalam mimpi mereka hanyalah sebutir cahaya; butiran air yang berkilau dari gugusan rembulan yang bulat penuh dan suara yang menitik terbawa oleh desau angin. Kilau dari sepasang mata yang tidak pernah mereka miliki. Tapi, tahukah engkau arti sesungguhnya sepasang mata bagi seorang penyair? Sebetulnya tak ada, karena tak hendak mata seorang penyair mampu melihat kecuali dengan hatinya.

Bagi penyair, mata hanyalah ilusi seekor binatang yang telah mati. Binatang yang tak lagi mampu menyuarakan kebekuan pikiran. Karena itu, bukankah percuma bila seorang penyair terlalu percaya kepada sepasang mata, sedang realitas dunia tersusun tak lebih dari balok-balok titian nada?

Mereka yang menyebut hujan, tidak menera hujan kecuali dalam pikiran. Mereka yang menanda burung tak menera burung kecuali mendengar kelepak sayap yang bergema di dalam benak.

Begitulah, penyair menutup mata dan mereka mendengar deru hujan bergema. Membasahi tubuh dan pikiran. Dan sekali lagi sajak-sajak baru terlahir dari gema suara hujan yang tak pernah mereka lihat.

April 2006
Macapat
: Témbunge Manungsa
Témbange Urip

1. Mijil

Azazil tergugu di beku batu. Henti. Api membakar hati, merepih. Menakar nyeri di wajah sendiri. Tapi, siapa mau peduli? malam muram menyiapkan peti mati bagi dirinya. Setelah waktu ini lewat. Barangkali, ia akan dapat melayarkan pedih di atas galur-galur asap dan api yang membara. Tapi ia tak akan sempat lagi mencatat ngilu, karena ngilu tak lagi terbaca di dalam luka-luka wajah manusia.

Kabil setelah Habil. Mati. Tak henti berlari mengejar bayangan sendiri, mengejar kepiluan yang terus-menerus menghantui mimpinya. Jejak yang mengeras, arca-arca batu yang mengepung kesendiriannya. Terlunta. Tanah asing yang tak lagi menyisakan setitik harap. Kesia-siaan yang tiada kunjung turun dari langit. Perih alang-alang. Pergi jauh kembara menghindar tatap manusia.

Jibril melayarkan berita. Mekar. Kabar yang lalu terdengar bersama kuncup-kuncup bunga. Menera angan dan setitik harapan dari kelamnya langit. Laju waktu yang terbelah. Karena setelah Khuldi, tak ada lagi pengetahuan yang akan menjawab pertanyaan manusia. Adam terlampau tua untuk mengulang sejarah, untuk memulai jejak dari awal lagi. Karena telah tiba masanya kebenaran menitis dari kesunyian dan kepedihannya.

Ijil itu menyusu ke sungai ibu. Lahir. Bersama rona rembulan terpancar dari wajahnya. Tak ada yang lebih berkilau dari bening kebahagiaan di mata Ibu. Mata yang bersinar cemerlang, serupa kejora yang menyala. Membunyikan sangkakala dalam hatinya. Hati yang tetap perawan, mengalirkan sejuta cinta bagi manusia. Menumbuhkan bunga-bunga mawar, mekar di tengah padang yang kering dan tandus.

Gigil langit tersibak, lalu biru menera kicauan burung dan lenguh kerbau. Sekali lagi, Khuldi berbuah di taman Eden.

2. Gambuh

Galuh mengurai peluh. Wajah manusia. Seorang malaikat kecil memainkan gambang di tengah padang. Menyusun mahkota dari daun nangka, menata reroncean kembang setaman. Pepohonan runduk mendengarkan suara si upik kecil beryanyi, menembangkan Pucung dan Dhandanggula. Melihat buyung asyik menari, bersama lautan sejuta kupu-kupu. Bermain congklak, bermain tali. Menggelitik jari-jari tangan Tuhan. Mengejar jejak waktu yang terlukis di lengkung busur bianglala.

Buluh berbunyi riuh, di tebing sungai derai air mengalir. Angin riap di atas rerumputan, sebarkan aroma dedaunan dan embun basah bebatuan. Cuaca seperti sedang tertawa, bersama celoteh kanak-kanak bermain riang gembira. Ada getar yang menghantar haru pada rona wajah mentari. Senyum Tuhan, membayang galur sungai menggeliat di sejuk batu. Percik air. Kaki-kaki kecil basah hingga ke paha tatkala seekor ikan meloncat menyentuh tangan-Nya.

Sentuh mengetat rengkuh, burung-burung berteduh di rindang pohon, mematuk buah-buah kersen, dan sayap-sayap kecil saling berpeluk. Bocah-bocah itu masih terus saja bermain gembira, saling melempar kembang saling mengejar bayangan. Melupa hari di detak waktu. Hingga remang membayang, dan langit senja guratkan warna merah saga di ufuk cakrawala. Hingga merdu suara ibu memanggil buyung-upik pulang ke rumah.

3. Sinom

Anom anakku, katakan padaku siapa dirimu? Mengapa kini kau peta ragu sebanyak maumu? Bukankah semenjak janin merah terlipat di dalam rahim ibumu, kau sudah belajar melukis angan di dinding perutnya? Lalu ketika engkau terlahir ke dunia, kulihat dirimu begitu giat belajar mencatat kenangan di balik telapak tanganmu. Masih pula kuingat saat kau berangkat menuju masa kanak-kanak, kau demikian pintar mengejar bayangan dengan sepasang kaki kecilmu. Namun kini setelah kau jelang dewasa mengapa masih juga kau tera ilusi dari serpihan mimpi?

Anom anakku, sebutkan namamu! Janganlah kau ragu nyatakan maumu. Bukankah kau tahu, tak hendak waktu berjalan undur, tak hendak esok palingkan muka, karena engkaulah yang harus ciptakan sejarah. Bukan dalam kehendak ayah atau ibumu. Telah usai masa kita, dan kini tiba masa bagimu untuk nyatakan diri. Untuk menera makna kata di balik wajah rembulan, untuk memberi tanda pada segenap kesangsian, pada segenap kerinduan dan ketidakacuhan. Telah tiba masa bagimu untuk menemu wajah sendiri.

Anom anakku, raih mimpimu. Tak hendak bukit menggapai langit kalau tak engkau mulai menjejak batu. Tak hendak lengan sentuh gemintang kalau tak engkau rentangkan sayap. Percuma tinggi-tinggi kau langitkan harap, jauh-jauh kau layarkan pinta, kalau niatmu terkubur di kubu batu. Sebelum kau tetak diri tak hendak diri nyatakan benar.

Anom anakku, katakan padaku apa hendakmu. Jangan biarkan jarum jam melenggang bisu di lengang bibirmu.

4. Kinanthi

Menanti, siapa rindu menanti? Di sini. Di kepung gerah udara ini, di tengah gegar panas cuaca ini. Sebelum diri terjaga dari tidur yang resah. Sebelum ada yang sempat mengusik hamparan peraduanmu. Selimut kesunyian dan tabir kesendirian. Sebelum ada sesak suara, lantunkan gema di kedalaman hatimu. Sebelum pada akhirnya perih asmara akan membangunkan dirimu dan lalu lemparkan hatimu pada hamparan perih runcingnya batu-batu.

Menanti, siapa menanti sepi? Harapkan senyum terkembang di bibir kekasih. Rindu rupa, demikian lupa. Ah, bara ini begitu dalam menyesak di jiwa. Mengapa angin lesakkan dingin tak jua berkirim berita? Mengapa resah dedaunan tak jua wartakan kabar. Hati redam di amuk gelisah menunggu. Angan kian menyempit di penghujung waktu, menera gerimis mengetuk pintu, mengapa terdengar begitu pilu? Mata yang gabak tersaput kabut, tak sanggup memintal harap dari rapuh benang sarang laba-laba.

Menanti, mengapa diri enggan berbagi? Mengapa harus lebam di diri tak henti tangisi sunyi? apakah sebab diri tak sanggup ingkari kenangan? apakah karena diri tak mampu lautkan harapan? sedang sunyi pun enggan berbagi dari perih yang sepertinya kekal. Sapukan kelam ke wajah rembulan. Karena duri telah menera jejak di gulir waktu tak juga mampu menemu harkat kasihmu.

Menanti, mengapa masih juga menanti? Di sini. di tengah hamparan pilu dan rusuh kalbu. Tempat di mana tak kau temu dirimu kecuali onggokan abu dari sisa-sisa mimpimu. Angin berhenti berbisik, demikian pun harap. Lalu, tak ada lagi suara yang akan melantunkan nyanyian cinta. Tak ada lagi desah dan cumbu rayu. Denting ngilu seakan bertalu di gigir batu mengeja kelu dalam bibirmu. Seperti mengejek, seperti mencemooh kesendirianmu. Hingga ngilu luruh, dan pecah dalam tangisan.

Menanti, lapuk waktu terbelah di wajah cuaca. Sia-sia.

5. Maskumambang

Tembang lantunkan kembang. Masih menera batas, karena tak ada yang tertulis di cakrawala selain senyap. Biar mengalun segala bunyi, segala nada, segala irama, yang langitkan mimpi dan angan-angan. Sekalipun langit lengang, namun pijar tawamu akan terus bersanding dengan temaram bulan, bergelayut di runcing bintang, bergelung di ikal rambut mentari. Hingga sunyi menera bunyi, satu-satunya bunyi dalam dirimu.

Gambang mainkan gelombang. Masih melantunkan batas, karena tak ada lagi batas yang mampu menembus penglihatan, menyentuh pendengaran, terhirup nafas, membelai kulit, membuai pikiran, dan mengekalkan segala ingatan. Selain batas kesendirianmu, kepapaanmu, kesadaranmu atas keterbatasan di dalam diri. Tak hendak batas memanggilmu pulang kembali sekalipun jauh engkau mengembara, sekalipun dalam engkau mencari, entah kemana engkau pergi hingga sampai batas menemu diri. Satu-satunya sesak yang tak lagi sanggup engkau mainkan.

Dalang memutar pandang. Masih mengumandangkan batas, karena tak ada batas selain pakeliran. Selain remuk batu kerikil di telapak kaki, selain debu kelilip yang masuk ke mata. Redup blencong menangkap seribu bayang-bayang, bayang gunung, bayang bumi, bayang rembulan, namun bukan diri yang nyata. Sekalipun bayang terbang melayang membayang cemas, membayang ragu, mengejar gelisah. Tak hendak bayang menera diri sejati sampai diri menemu cahaya.

Wayang membayang kenang. Masih mengeja batas, karena tak ada gerak yang akan gambarkan kecemasanmu, tak ada rupa yang akan lukiskan kerisauanmu, tak ada warna yang akan memutar ketakutanmu. Karena itu menarilah Yudhistira, menarilah Duryodhana hingga awal bertemu akhir, hingga asal bertemu ajal, segala diri menanti di tengah sunyi padang Kurukshetra. Segala menanti. Mati, masuk kembali ke dalam peti..

6. Asmaradhana

Hendaknya asmara menghantar bunga. Semerbak menghantar rindu. Gemulai masuk balai paseban, bersama redup lentur damar haturkan persembahan ke hadapan Sri Rama. Sang Narapati. Terpekur di atas singasana. Antara ragu dan sendu rayu. Gerimis menitik, entah suka entah sedih, entah bahagia entah perih. Lalu waktu menulis luka rembulan, sepikan pinangan. “Ataukah belum tiba saatnya samudera layarkan damba keharibaanmu wahai Narotama?”

Seharusnya kereta menghantar cerita. Bersama mabuk angin dan pasukan berkuda. Seratus punggawa. Bala tentara Wanara menyiapkan hantaran. Tunggal. Diri yang suci, tak lain cinta. Dalam diri Shinta seorang. Dialah nirmala, ratu dari segala kembang. Dialah narwastu, akar heharuman, wangi dari segala parfum. Putih tiada ternoda. Tapi, siapa hendak menera sangsi di batin Sang Prabu? Setelah rembulan menera jejak, setelah angin sentuh segala ingin di helai rambut Sang Dewi. Siapa masih sanggup menera resah di mata Sang Raja?

Kiranya tarian rembulan sanggup hantarkan cinta ke hadapan Sri Rama. Tak perlu sangsi mengusik hati, tak hendak resah malam menghantar senyap. Api merepih dan kemudian membara, mengibas luka-luka perih, mengeras di jantung. Hangus. Menikam-nikam serupa sembilu. Lepas di mata, lepas di mulut, membakar hati membakar nyala cinta di dada. Membakar langit hingga merah saga, hingga langit menyala bersama hati yang berdarah. Oh

Mestinya kata hantarkan diri. Telisik warna malam demikian muram. Nyeri yang tak terucap di bibir. Berdarah. Dalam kelopak-kelopak bunga angsoka ungu membiru. Gugur di tebing mimpi. Angan terbelah, kerinduan serupa ngarai, serupa jurang menganga. “Ah, mengapa cinta terakan luka sedemikian pedih?“ Jarum-jarum yang berdenting, pisau-pisau yang mendengus, dentang pedang. Menghunus luka dengan tajam kilaunya. Tak satu kuasa artikan tatap mata sebagai cinta. Satu-satunya cinta menitik di bibir yang pucat dan pilu. Masih juga sepi dari pinangan. Berpaling dengan wajah mengeras.

Shinta, sang dewi. Berjalan perlahan, mengandung senyap. Dengan segenap cintanya menembus bara api.

7. Dhandanggula

Udara menghangat di cangkir kopi. Tatap mata tak lagi hamparkan tanya, selain kerinduan, selain cinta yang hendak terdekap. Keharuan yang lindap di tangan yang gemetar. Menyedu hangat di cangkir kopi. Karena batas tak lagi batas, cangkir-cangkir beradu, kepul asap menyatu di tepi pembaringan. Mengusik hasrat, bening kilau mata, dan genggaman tangan yang seakan tak hendak lagi terpisahkan. Sama-sama mereguk harum pekat kerinduan di cangkir kopi.

Gula beradu di seduh kopi. Merengkuh batas dan jarak. Melipat percakapan, seakan tak ada yang musti kembara di luar sana. Tak ada lagi ragu yang patut dipertanyakan karena segala sangsi mencair dalam pertemuan. Tatap muka dan canda gelak tawa. Geletar darah kemudian menyatu di wangi kopi. Di teduh cahya mentari menembus jendela. Kita saling berbalas ciuman, saling melumat harapan, saling menggelitik angan, saling berbagi kenangan. Bergelung di balik hangat selimut sambil terus berbicara tentang aroma kopi.

Surga berdetak di wangi kopi. Denyut ragu tak lagi memburu. Kita sama-sama larut, mereguk cangkir demi cangkir hasrat. Hingga terlupa segala resah dan gelora nafsu seakan membelah batas kesendirian diri masing-masing. Nyeri yang kemarin masih menjadi milik sendiri, kini menyatu di dalam kebersamaan cangkir. Kopi yang manis, hangat, kental, dan harum. Mengepulkan seluruh kisah perantauan kita, perjalanan yang meninggalkan jejak kepedihan, pencarian yang menguras air mata tertinggal di punggung waktu. Menyerpih dalam pekat aroma dan lalu meresap ke dalam cangkir di tangan kita sebelum kemudian lenyap ke dalam tenggorokan. Meninggalkan sisa serpih kehangatan dan sedikit rasa pahit yang tak akan pernah kita lupakan.

8. Balabak

Riak air di permukaaan telaga, mengiring kawanan bangau terbang mengantar senyap pulang ke rumah. Menemu seribu wajah termenung di tepian. Wajah rumput, wajah bulan, wajah batu, wajah bintang, wajah daun, wajah awan, wajah ranting, wajah pohon, wajah sunyi, wajah nyeri, wajah takut, wajah ngeri, wajah tangis, wajah tawa, wajah ramah, wajah gelisah, wajah kosong, wajah lupa, wajah luka, wajah duka, wajah cemas, wajah bijak, wajah mesum, wajah cantik, wajah elok, wajah buruk, wajah tampan, wajah jelek, wajah marah, wajah bengis, wajah arif, wajah bayi, wajah tua. Berapa banyak wajah yang sudah kita lihat, sebelum kemudian kita lalaikan?

Retak bulan di beku batu, lantunkan begitu banyak suara. Suara gemercik air, suara gemersik pasir, suara patahan ranting, suara hembusan angin, suara dedaunan gugur, suara kokok ayam, suara deritan pintu, suara tangisan bayi, suara gumam di dapur, suara-suara riuh dalam tabung televisi, suara-suara percakapan dalam radio, suara desah, suara dengkur, suara tawa, suara sumbang, suara pilu, suara dencit, suara jemu, cericit di lubang tikus, suara-suara senyap di liang semut. Berapa banyak suara yang telah kita dengar, sebelum kemudian kita abaikan?

Kerak karat di pintu besi, meninggalkan jejak matahari, menuliskan kaligrafi dengan penuh khidmat. Menera begitu banyak peristiwa. Tembok-tembok retak, siulan bayang-bayang, lalu-lalang waktu, kartu pos dan tumpukan surat melapuk, buku-buku membusuk, tunas-tunas pohon tumbuh, bunga-bunga kering dan layu, metamorfosis ulat menjelma sayap kupu-kupu, peti-peti sekarat di pojok gudang, kantong-kantong beras berlubang, bayi lahir, anak-anak bermain di kebun, ibu mencuci di kamar mandi, ayah berangkat kerja ke kantor, nenek mendengkur di sofa, kakek memandikan burung di halaman samping. Berapa banyak peristiwa yang telah kita catat, sebelum kemudian tidak kita acuhkan?

Serak daun di atas atap. Menyimpan kenangan, menghitung mimpi dan sisa pedih awan mendung. Mengeja begitu banyak nama. Redup cahaya rembulan, kemilau bintang, kerjap bola mata burung hantu, tingkap-tingkap terbuka, semilir angin, boneka beruang di sudut ruang, kotak-kotak sampah beku, gigil lemari es, kerjap lampu, wangi sabun, sikat dan pasta gigi, gayung berlumut, botol-botol parfum, pembersih wajah, deretan bufet dan rak-rak, tumpukan koran dan majalah, almanak berdebu, Senin, Selasa, Rabu, Maret, April, guntingan artikel, cermin rahasia, ranjang besi, bantal-bantal empuk dan sprei batik, selimut hangat, kotak perhiasan, botol minuman keras. Begitu banyak nama, begitu banyak nama yang harus kita ingat sebelum kemudian kita lupakan.

9. Wirangrong

Gorong, bagaimana kau hendak mengerti. Kehendak Tuhan, adakah Ia peduli? Bagaimana engkau mampu menemu hikmah sejati, dari segenap kemanusiaanmu? Keengananan dan keacuhanmu, ketidakpedulian dan kesia-siaanmu. Engkau berdiri di atas bongkahan batu namun tak kau lihat ia serupa geronggong, tanpa akar, selain wujud dan harkat dirimu yang kasar, yang fana. Engkau yang berbicara dengan nada pongah, dengan irama yang skeptis, sarat dengan keangkuhan dan pengetahuan. Penuh kerumitan. Tak urung gamang mengurai segenap kekhawatiran: wajah diri sebatas nyeri, dengan sejuta liang luka di badan. Seekor hewan buas yang tak henti mengeram hasratkan diri menjadi tuhan.

Lorong, bagaimana kau dapat meyakini. Kemampuan diri sendiri, adakah telah kau urai segala sangsi yang akan tunjukkan jalanmu? Kemana diri harus melangkah, kemana diri harus berjalan. Masih sesat pikiran, begitu banyak pintu dan tangga, begitu banyak jalan; tikungan, putaran dan belokan. Labirin-labirin kesunyian yang penuh dengan begitu banyak jebakan. Tebing-tebing terjal dan jurang-jurang menganga, menera keraguanmu, membilang kebingunganmu. Memilih daging atau roh? Menentukan pikiran atau nafsu? Betapa kacaunya realitas, bercampur-baur antara angan dan mimpi, antara kenyataan dan ilusi. Masih tak mampu tentukan jalan memilih senyum Tuhan atau seringai Iblis.

Dorong, seberapa jauh kau mencari. Karena sungguh lahir tak untuk sekedar menanti mati, tak hendak berpikir untuk kemudian menjadi sesat. Segala yang engkau lihat, yang engkau dengar, yang engkau sentuh, yang engkau hirup, yang engkau kecap menulis segala tanda dalam dirimu. Kerjap listrik dalam benakmu, menafsir segala bimbang dan ragu. Hingga diri menemu pintu. “Ketuklah, kawan ketuklah! Mungkin akan kau temu kebenaran di dalam sana.”

10. Jurudemung

“Nung!” kau dengar bunyi itu? mengajakmu mengendap ke balik batu, rumpun-rumpun semak dan pepohonan, menyibak perdu dan rerumputan. Mencari kembali hakekat manusia, ia yang seharusnya tinggal di dalam setiap guguran patera, riak telaga, sunyi lembah, lengang kabut, salju berhembus dingin di puncak gunung dan gema sebatas jurang. Suara itu, bergaung memanggil-manggil namamu.

“Dung!” kau dengar bisikan itu? mengajakmu menyelam ke dalam batu. Mencari hakekat manusia, ia yang seharusnya ada di tiap gugusan air mata. Mengurai mimpi, mengurai bunyi. Mengurai segenap sunyi dan kegelisahan. Suara itu mengajakmu menera kembali segala nyeri di dalam diri. Duri-duri yang membalut segenap ingatan.

“Gung!” kau dengar suara itu? mengajakmu berlari melintasi batu, melintasi panas aspal jalan raya dan rimba-rimba beton, gegar cahaya dan bentang pencakar langit. Belukar peradaban dan modernisasi. Mencari kembali hakekat makna di diri, ia yang seharusnya ada di setiap getar pawana, deru bayu, bisik angin. Hasrat yang meremas ingin mengantar kita melintasi waktu menerobos debu dan pekatnya asap knalpot.

“Wung!” kau dengar jeritan itu? meronta, mengerang, mengiris dalam dada dengan tajamnya pisau kesunyian. Di balik takdir dan kilasan mimpi, tangisan bayi dan erang seorang pelacur. Suara itu, berdetak keras meneriakkan namamu.

“Zung!” Dengarkan! dengarkan suara itu: Bergaung. Berdengung, berulang, berulang-ulang menjeritkan nyeri dan kesunyian manusia.

11. Girisa

Maya, tak ada satu tempat di mana engkau dapat sembunyi dari wajah kebenaran. Karena Ia dapat melihat ke dalam dirimu. Mengintip ke dalam bola matamu, bersama hunjam batu-batu yang jatuh ke dalam jurang. Sekalipun membilang keraguan dalam jiwamu. Suara gema, nyeri dari relung yang paling dalam. Redam. Sunyi manusia. Bentang jurang begitu rapuh tertembus oleh titik-titik cahaya, tebing-tebing terjal seakan berkilau, di bawah sulur-sulur akar pepohonan yang menembus jauh ke dasar.

Lara. Tak kau tahu segala. Purna waktu dan segenap upaya, karena tak ada jalan untuk mendaki ke atas. Runcing batu-batu tampak demikian perih, seperti menghitung jarak. Nyeri kerinduan yang dalam dan awan putih di atas sana menera wajah Giriça. Demikian jauh, demikian tak tergapai. Walau sulur-sulur itu seperti menawarkan harapan, namun terasa begitu rapuh. Betapa? Sirna rupa, harap yang menetes dari bayangan hujan yang basah yang bahkan ketika titik tak mampu menyentuh hingga ke dasar jiwamu. Menguap seketika di belit akar pepohonan.

Luka. Menera wajah sendiri. Terkapar di dasar jurang. Melupakan semua jejak kehidupan. Semua detak yang masih berdegup di jantung sendiri. Sepertinya runcing batu-batu ini tak akan pernah sampaikan nyeri. Walau puja telah langitkan segala harap, pada Sang Hyang Girinata. Walau duri makin tajam membelit, tapi tiada sirna segala ingatan. Sebelum diri sampaikan tuju, melawan enggan, melawan bosan dan sejuta dera rasa perih dan kesunyian. Asap masih tak hendak pupus.

12. Pangkur

Guntur menebah langit. Hujan asam melukis kelam dalam bola mata manusia. Dunia telah menjelma menjadi sebongkah arca, kesadaran membatu dalam galau cuaca. Musim jadi demikian beringas, menyimpan dendam dalam butir-butir darahnya, dan sembarang manusia tak lagi mengenal wajah sendiri, saling membenci! saling memaki!

Sangkur menghunjam bumi. Anak Adam tak henti saling menikam. Kemanusiaan larut serupa kabut, berjalan di bawah hujan. Gempuran kebencian. Dengan mata menggenang darah, dengan dada menggumpal amarah. Riap dendam serupa sulur yang menerpa kepedihan batu-batu, menera bau mesiu. Wajah pias di balik manik-manik hujan abu mengabur, bola mata memerah, rambut lengket dan basah oleh titik-titik darah seperti hendak mengerang, seperti meradang dan hendak pancarkan nyeri. Nyeri yang menancap jauh ke dasar benak.

Tambur memekik perih. Langit serupa geronggang menera wajah mentari sungsang di titik zenit. Tak ada lagi mimpi di tanah ini, selain burung-burung merpati yang terkapar di lengang jalan. Tak ada lagi nyanyian hujan, karena gegar cuaca, bumi telah menjadi bangkai di mulut gagak. Dan dubuk ribut berebut jasad kemanusiaan yang sekarat di ujung jalan, meninggalkan penggalan sejarah yang belum usai di catat.

Bilur menaja pedih. Membilang bulu-bulu mengering di kelopak mata. Menghitung hari-hari luka yang berlalu bersama kematian manusia. Masih tersisa isak dan sedikit jeritan dalam kabur ingatan waktu. Tak lagi siapa menyebut nama siapa di luar sana. Di tengah gegap-gempita runtuhnya peradaban, di balik remang asap jelaga, bubuk mesiu dan desing peluru. Tak lagi mengenal wajah, tak lagi mengenal nama. Bayang-bayang hantu bergerak lambat di bawah terik mentari, nyala mata garang tak sanggup meredam dendam, menginjak kuntum mawar layu di pinggir jalan. Seakan tiada peduli untuk ucapkan kata perpisahan.

Bentur segala sunyi, bersama nyeri waktu. Perlahan-lahan meregang nyawa, dan lalu henti berdetak.

13. Durma

Angkara ciptakan kelam, dari tajam pedang dan kerasnya gada. Berkilat. Darah mengering di ikal rambut dan sela-sela kuku. Garang mentari telah menebah Kurukshetra serupa jadi lengang hutan jati. Angin mati. Senyap terpaku di atas jasad-jasad kaku. Di antara pecahan benak dan keping-keping roda kereta, patahan kaki kuda dan mulut yang sekarat dari serpihan langit merah. Darah beku tercoreng di kening zaman. Tak terbaca lagi tanda-tanda manusia.

Dahana. Api membara. Melantunkan kisah; Dalam nyeri waktu, dalam senja yang merangkak gelap. Dalam reruntuhan bala tentara Kurawa. Terlihat bayangan malam, menghitung jumlah penggalan kepala, bangkai-bangkai kuda, dan tawa hiena ribut berebut mangsa. Sekerat wajah rembulan menanda hamparan kubur. Tak tersirat tanda, selain debu dan percik darah yang telah kering. Siapa terbantai di padang ini? Bhisma, Abimanyu, Bhurisrawa, Jayadratha, Gatotkaca, Drona, Karna, Salya, Dhrishtadyumna. Masih tak hingga… lalu di mana lagi kau jumpa wajah manusia?

Wangsa Bharata menjelma luka. Jurang menganga. Gelap pekat merentang jarak: siapa Pandawa? siapa Kurawa? Siapa mereka, selain sunyi wajah manusia? Menanda retak sejarah dibeku waktu. Rahim siapa yang telah melahirkan kengerian serupa ini? Bilur demi bilur, nyeri demi nyeri. Kematian demi kematian membilang darah di bibir Gandhari, di bibir Dhritarashtra, di bibir Pandu, di bibir Kunthi, di bibir Madri. Hingga pilu gerimis tandas tak lagi menitik.

Karena petaka terlanjur pecah. Terserak. Jadi serpihan di punggung waktu. Tak lagi terdengar bisikan suara dewa, hanya kutuk - pastu yang tiada henti menimpa kepala manusia. Prasangka menjadi raja di setiap benak. Demi segala alasan untuk kekalkan hasrat. Kehendak atas kekuasaan, keangkuhan diri, kesombongan manusia. Tanah-tanah baru untuk ditaklukkan, langit-langit baru untuk ditundukkan. Di bawah telapak kaki manusia, di dalam kepal genggaman tangan, kekuasaan menjadi nafsu tiada terlawan. Seekor harimau yang kelaparan menelan hidup-hidup seekor lembu.

Adharwa menjelma yaksa, mambang dan segala peri. Hingga nyala mata harimau itu pun padam. Tapi, sukma siapa masih terdengar mengerang? Segara asat melepas semua detak jantung, jerit kepiluan, ukiran mimpi dan pertalian takdir. Musnahnya sebuah bangsa, hanya karena setitik kebencian. Adakah dendam lebih merah dari pertalian darah? Adakah kebencian lebih merah dari ikatan persaudaraan? Lalu apa arti detak di jantung manusia? apa arti degup di getar nadi? Mengapa masih juga tak henti gunung mengejek jurang? mengapa langit tak henti mencemooh bumi? walau sesungguhnya tak pernah ada jarak terentang antara gunung dan jurang, antara langit dan bumi selain hampa dan kefanaan.

Aib, yang tidak terhitung jumlahnya. Hingga lumat segala batas, hingga nyeri waktu melipat cerita, lewat terjangan panah dan hunjaman tombak. Mengakhiri seluruh kisah anak Gandhari. Mengakhiri seluruh kisah anak manusia.

14. Megatruh

Subuh hilang ombak. Tak seorang pun datang ke pantai ini. Tak seorang pun mengejar fajar untuk melukis senyap. Hanya ada engkau di keremangan kabut, mengukir resah di atas hamparan pasir. Di mana manusia? jasad tanpa suara terpaku dalam diam, langit lengang tiada terbaca satu isyarat kehidupan. Tak juga deru ombak, atau desah karang. Sepertinya memang tak ada tanda-tanda, kecuali muram cuaca. Angin dingin yang hendak mengantar badai bergulung di cakrawala.

Suluh hilang cahaya. Pulau-pulau tak berpenghuni terpaku serupa tugu batu di keremangan. Angin menempa gerimis, tak melabuhkan harap yang terus menerus melambai dari tanganmu. Kapal-kapal besar serupa noktah hitam dalam lipatan ombak lalu begitu saja. Masih tak ada kepak isyarat camar, selain sendu embun beku di batu-batu dingin. Engkau masih saja sibuk menera jejak di gersik pasir, menghitung alpa, membilang luka yang mungkin saja masih terbaca di kening waktu.

Tubuh hilang nafas. Mengeja cemas yang terus saja mengulang diri. Kerinduan demi kerinduan terpancar dari wajahmu. Ah, sekiranya saja mimpi mampu hantarkan rindu, maka tak akan berulang bimbang di retak batu. Sunyi merangkum resah pulau-pulau, akar-akar bakau dan risau yang lindap di bayang pokok kelapa. Tak satu suara menjelma jadi kerinduanmu kepada manusia. Oh, di mana sesungguhnya manusia?

Tabuh hilang bunyi. Menyeru ombak, menyeru lautan namun tak ada gema yang menyahut kembali. Hanya lengang sunyi yang kian sunyi, menerpa wajahmu. Pias gerimis menjadi sayatan-sayatan perih, meninggalkan luka memar, setangkup cemar dan hasrat yang kian lapar akan wajah manusia.

Aduh hilang nyeri. Tak lagi terkata, selain redam yang kekalkan bisu terpatri di ujung lidah. Segala risau telah berpulang, di tengah kepungan pulau karang kau berdiri terpaku, menatap cakrawala. Titik bayangan senja sepertinya tak hendak berkedip, hingga lamat-lamat kabut turun menutup segala pandangan.

15. Pucung

Tudung batu tudung mendung. Rentang panjang leher jerapah seperti hendak mengerkah langit. Sejauh andai, sejauh gapai tak batas lengan mencapai rembulan. Di mana mentari masih bersinar di balik mega, rintik hujan masih hibuk melukis batas semesta. Di mana segala indera masih sanggup menera setiap kepak isyarat rama-rama yang turun dari langit. Mungkin masih ada rindu yang bakal terdekap, sebelum jasad terbujur mati.

Renung batu renung gunung. Rentang panjang belalai gajah seperti hendak membelah lautan. Dalam diri sibuk menggali seribu teka-teki, jauh hingga lubuk terdalam. Sedalam hati sedalam rasa tak juga menemu batas muara. Di mana bayang mengalir di atas redup batu-batu. Seekor ikan berenang dalam ilusi waktu yang tak henti mendidih. Ternyata, tak ada pengetahuan di kelam langit, tak ada seorang saksi yang tahu pasti di mana jejak kebenaran berada, bahkan hingga keruh mentari surut dan kemudian luruh ke lubuk mimpi.

Tenung batu tenung gunung. Rentang panjang sayap-sayap burung seperti hendak meraih bintang kejora. Kelopak-kelopak angsoka. Sejauh angan, sejauh sayap menera wajah semesta tak jua sanggup merengkuh cahya rembulan purnama raya. Sejauh akal, sejauh pikir tak kunjung menemu batas angkasa. Di mana batas tak jumpa batas, tak ada keyakinan menemu pasti bergelayut di pusat galaksi. Semesta adalah samudera luas tiada berbatas, antara ada dan tiada, antara diri dan lengang sunyi. Sekedar kerlip fajar yang pada akhirnya surut ke dalam diri yang fana.

Maret - April 2006
1. Ratna Di Jingga Langit

Kutulis Ratna dari kekosongan
kutulis Ratna dari ketiadaan. Ketika ada,
tak juga menera angan kesendirian, mimpi kesunyian.
Hasrat mengabadikan Ratna dalam ingatan

Aku ingin membaca Ratna, seperti membaca diri. Sekali lagi.
Membaca kembali waktu, pulang kepada rindu.
Ketika Ratna masih terlelap di dalam lipatan kenangan
di dalam bingkai kerinduan, perih sunyi sekerat wajah rembulan.

Ratna seperti menangis di dalam nyeri waktu, tapi
Ratna mungkin saja tersenyum dalam diriku
Dan jingga langit serasa hendak mengeja Ratna
membaca puisi dalam kilau matanya.

Tapi di mana Ratna? Demikian suara senyap itu memanggil.
Menghitung jarak, membilang jumlah jejak.
Di mana tak ada lagi kelepak sayap
yang akan merubah detak sang waktu menjadi hening.
Wajah siapa ingin berpaling dan lebur di dalam kesunyian.
Bersama Ratna. Satu-satunya Ratna yang aku kenal.

2. Ratna Di Dalam Sunyi Kata-kata

Telah bertahun kutulis Ratna
seolah ia telah mati dan kuhidupkan kembali dalam puisi.

Kuberi ia bunyi untuk meneriakkan kebekuanku
Kuberi ia sayap untuk menerbangkan kepiluanku
namun masih menggumpal segala hasrat,
tumpat-padat segala penat di dalam benakku
tak kunjung mampu terjemahkan Ratna dalam sajakku
tak mampu jelmakan Ratna dalam hidupku.

Masih terus kuhirup nyeri dari setiap penggalan kata-kata
di mana tubuh Ratna terbungkus rapat di dalamnya.
Masih terus kusesap perih dari setiap lapis makna
di mana jiwa Ratna hadir dan tinggal
sebagai tawanan dalam rumahnya.

Serupa teka-teki
bertahun aku menyiksa diri sendiri:
memaksa diri mengurai titik-titik darah
dan mempergunakannya sebagai dawat
untuk melukiskan seribu luka
dan seribu kesedihan
di hati Ratna.

3. Ratna Di Beku Waktu

Satu ketika kulihat Ratna, duduk membatu di butir debu.
Tapi siapa tak melihat Ratna ketika itu?

Meskipun tak ada nama-nama untuk mengingat peristiwa
tak ada tanda-tanda awan di langit
atau pun beku di dinding-dinding waktu.
Semua lengang saja menera satu-satunya pilu
wajah sayu milik Ratna.

Ia seperti sesosok bayang-bayang
yang terbang dalam kesendirian
berusaha membunyikan kesunyian dalam dirinya.

Ia seperti ingatan yang terpenggal
hasrat yang tertinggal dari kepingan masa lalu.

Saat ia terbang bersama butiran debu itu
ia seperti tiada mengenal duka
matanya membayang kosong saja.

Barangkali ia cuma segumpal mimpi atau separuh ilusi
yang lupa menafsir, yang sepikan takdir:

bahwa hidup tak lain hanyalah sebuah misteri.

4. Ratna Di Debur Ombak

Adakah Ratna mengingat bintang tatkala ia menyaksi malam?
Siapa di sana memanggil namanya?

Masih ia hampiri laut untuk mengingat suara deburan ombak
dan ia susun istana harapan dari butir-butir pasir waktu.
Sayang, angin begitu cepat membuatnya berlalu
sebelum buih-buih itu sempat mencium bibir pantai.

Sekali, sempat kami dipertemukan di pantai itu.
Sekali saja, selepas itu ingatan terlupa menyimpan kenangan.
Tinggalkan segurat senyum di bibir Ratna.
Serupa hujan yang mengeras,
menjadi runcing jarum di detak waktu
kehilangan arah, melupa wajah Ratna.

Melupakan bayang-bayang keindahan di benak rembulan.
Tinggal sekerat kerinduan yang masih saja menyimpan
serpih perih sepotong duri.

5. Ratna Di Gurat Luka

Siapa yang lebih nyata daripada Ratna,
membaca lamunan dan impianku?
Bila saja ada yang lebih mengerti,
tak ada yang melampaui Ratna
menafsir kenyerian dan kepedihanku.

Tapi siapa yang lebih semu daripada Ratna?
Siapa yang lebih bayang dari dirinya?
Menulis sejumput ingatan dan selarik kenangan
terkandas begitu saja di kelok jalan.

Tak ada yang lebih membingungkan
tak ada yang lebih mengherankan
sebagaimana Ratna meninggalkan segurat duka
di atas telapak tangan kesunyian.
Pergi bersama bayang tengah hari
tanpa sepatah kata ataupun sepenggal pesan
tanpa sempat lagi nyatakan perih luka-lukanya.

6. Ratna Di Butir Pasir

Tak terjawab kerinduan yang terlanjur pergi
bersama bayangan Ratna.
Meraut kepedihan, menajamkan kenyerian
goresan luka di dalam jiwa.
Gersang tanah ini masih tak kunjung henti bertanya
kemana perginya Ratna?

Walau telah kutulis berjuta nama Ratna
dan kusematkan di butir-butir debu
lalu kuterbangkan ke jalan-jalan.
Telah kutulis bermilyar nama Ratna
dan kumeteraikan di butir-butir pasir
lalu kulayarkan ke tujuh samudra.
Masih tak juga kudengar berita
di mana Ratna yang sesungguhnya?

Telah kutera seluruh jejak nyeri di batang pohon
di kelepak sayap burung, di debur ombak, di desau angin
bahkan di jingga langit hanya untuk mencari sekerlip tanda
adakah Ratna pernah hadir atau tinggal di sana.

Namun demikianlah,
segunung tanya masih juga tak menemu jawab.

7. Ratna Di Detak Jantung

Kudengar Ratna: mengalir bersama keheningan
Setiap desah seperti tak henti menyebut namanya
Gersik pasir, desau angin, ratap kerikil
tak putus-putus membunyikan Ratna.

Ratna berbisik dalam diriku
Ratna berdetak dalam jantungku.
Kudengar Ratna bergetar dalam denyar alir darahku.

Bahkan setiap kali kubuka jendela
Ratna menghambur bersama angin dan kesunyian.

Telah lama kuingin menggapai Ratna
Dalam jaga aku tiada berbicara selain tentang dirinya
Dalam tidur aku tiada bermimpi selain tentang dirinya
Dalam rentang waktu tak henti Ratna menghantui diriku.

Dalam hembus nafasku ada hembus yang mengeja nafas Ratna
Dalam resah pikirku ada gelisah pikiran yang menera bayangan Ratna.
Tapi mengapa hampa hatiku masih juga tak menemu Ratna?
Ia terasa begitu asing, begitu jauh dan tak terjangkau.
Sekalipun tak putus-putus hasrat untuk menjumpa Ratna
dan menjadi sebagian kecil saja dari dirinya
namun mengapa masih rawan jiwaku tertampar kekosongan?

: Sebelum Ratna menjelma di dalam diriku
sebelum Ratna menyatu di dalam kesunyianku.

8. Ratna Di Dalam Tak

Mengapa tak kujumpa Ratna
dalam dentang lonceng gereja
dalam takbir suara azan memanggil
dalam wangi dupa dan butir-butir doa
yang tak sanggup ucapkan kerinduanku?

Apakah Ratna terlanjur membatu
menjadi sesosok arca dalam diriku?
Apakah terlalu kupuja Ratna
melebihi kebenaran yang tiada aku kenal?

Lalu mengapa Ratna menghantui diriku serupa itu?
Serupa duri yang terlanjur menancap ke dalam benak
Serupa hasrat yang merasuk ke dalam pikiran.

Telah merah segala luka
tiapkali Ratna berbisik dalam kupingku
menawarkan cinta dan kerinduan.
Namun entah mengapa
aku masih juga berpura-pura
tiada mendengar
atau mengindahkan
segenap seruannya.

9. Ratna Di Bening Mata

Melampaui realitas sehari-hari
begitu sering Ratna muncul di televisi.
Dengan rambut pendeknya
dengan senyum manisnya.

Siapa tak terpikat kepada Ratna?

Tapi siapa pula yang tahu rahasia
di balik kilau bening matanya
yang menatap lurus menembus
dinding kaca itu?

Tak ada yang mengenal Ratna serupa diriku
seperti aku mengenal jejak-jejak luka
yang tergores di sekujur wajah rembulan.

Lebih dari sekedar rasa sakit dan kepiluan
Luka itu adalah semesta cinta di hati Ratna.
Cinta yang pernah ia sematkan dalam hatiku.

Walau berabad lewat nyeri membeku di tabung televisi
Menera wajah Ratna. Menanda manis senyumnya, kerlip matanya.
Dan selaksa perih yang tiada henti menitik dari dalam hatinya.

10. Ratna Di Dingin Angin

Masih sempat kulihat
kebahagiaan terpancar di mata Ratna.
Walau sekejap menyaksi kilau mentari
dan bening cahaya menari di lengkung pelangi
terurai di atas gerai rambutnya.

Tapi entah mengapa
kami tak lagi bercakap sesudah itu
membiarkan lengang merengkuh
lengan-lengan telanjang kami.
Jemari dingin seperti ingin
sampaikan hembusan angin
serpih buih, gemuruh ombak
dan teriakan burung-burung camar.

Adakah kerinduan telah menjadi begitu terbiasa
menyangkal kehadirannya?
bahwa jejak terlanjur menera keterasingan
dan membuat jarak kami semakin menjauh.
Seakan keterpencilan ini
mampat begitu saja di rongga dada
dan mengeras di beku karang.

Ada yang sempat tak terucap di kelu bibir
Senja terus merambat di dalam diam. Di dalam tikam.
Gelora ombak seperti tiada henti membaca kecamuk pikiran.
Angin yang gemetar menyentuh jemari resah. Terlanjur basah.

: Adakah lengang waktu menjawab kerinduanmu Ratna?
atau barangkali kita telah tertidur tanpa sempat terjaga dan
terlambat menyadari, diri telah jauh tenggelam ke dalam mimpi.
Tak lagi mampu menemu jalan untuk dapat pulang kembali.

11. Ratna Di Kelam Malam

Siapa menyapa diriku di pijar lampu?
sedang lama tak kubalas sapa cahaya.
Telah lama aku terlanjur terpana oleh kegelapan
satu-satunya gelap yang aku cintai.

Ia bernama Ratna,
dengan rambut ikal yang kelam
dengan kulit lembut yang legam
tapi tak ada wajah yang semanis Ratna
tak ada yang sehalus elus telapak tangannya.
Walau masih ada dingin gurat tipis di bibir Ratna
tak ada menanda senyum atau kerinduan.

Tak ada gelap yang begitu aku cintai
yang sanggup memilin hasratku
yang mengharu-biru daging dalam diriku

Begitulah Ratna membalas segenap cintaku
dengan sejuta kelam malam dalam dirinya
namun masih juga ia simpan sekeping duri:
Bayang kesendirian yang perlahan
mengabur di pijar lampu.

12. Ratna Di Lipat Buku

Siapa gemar membaca
pastilah pernah membaca Ratna
Siapa suka menulis
pastilah pernah menulis Ratna,
karena Ratna hidup dan tinggal di lipat buku
Sebagai kenangan, sebagai tanda
untuk mengekalkan waktu dan angan-angan.

Saat kukaji makna ia sembunyi di dalam kata
ketika kukaji lagu ia sembunyi di dalam nada.
Serupa kerlip rembulan di balik awan.
Demikianlah Ratna hidup dalam benakku, sebagai pikiran.
Berdetak dalam jantungku sebagai harapan.
Berdenyut dalam nadiku sebagai kerinduan.
Semesta cinta yang tiada habis kugali dari tetesan hujan
di mata Ratna. Dan satu kali nanti mungkin
aku dapat menyebutnya sebagai sebuah kebenaran.

13. Ratna Di Serpih Mimpi

Setelah usai waktu membuai diriku
aku tak sempat lagi terjaga. Menemu Ratna.
Tenggelam ke dalam mimpi.

Ratna seperti lautan ombak
yang mengggulung diriku dengan kebimbangan
seperti deru angin yang tiada henti
membalut diriku dengan kecemasan

Lupa waktu menambat angan
labuhkan perih duri dan kelopak-
kelopak mawar di rambut Ratna.

Kami telah menjelma jadi sepasang kupu-kupu
dengan sayap-sayap keemasan.

Kami telah menjadi sepasang kekasih
yang menulis perih di kening mimpi.
Membunyikan embun, membunyikan hujan
menjadi sebuah alunan simphoni
yang membawa leka waktu
menjadi sebuah perhentian:
Betapa belenggu mimpi tak akan pernah lagi
membuat kami terjaga.

14. Ratna Di Dalam Puisi

Ketika kubuka pintu kutemu Ratna dalam puisi
menjelma cinta dalam keseharian
seperti udara yang aku hirup
seperti nasi yang aku makan
semuanya ada di dalam Ratna.

Kubuka jendela dan kujumpa Ratna
menghambur bersama cahaya
serupa mentari tebarkan kehangatan
serupa rembulan pancarkan kedamaian.

Ratna berlagu dalam diriku
Ratna bernyanyi dalam hatiku
Selepas senja lindap menghampiri fajar
dan mencium lembut bibirnya, hingga
berdua sama-sama tenggelam
dalam lautan asmara
yang tak putus-putus.

15. Ratna Di Pijar Doa

Seberapa bening kilau embun menjelang fajar?
masih tak mampu tandingi bening di hati Ratna
Seberapa cerlang mentari tengah hari?
masih tak mampu menentang cerlang di mata Ratna
Bukankah Ratna telah hamparkan kerinduan
yang merangkum segenap angan
yang merengkuh pertalian mimpi. Satu dalam diriku.
Membunyikan genderang cinta hanya kepada Ratna.
Sebab Ratna lampaui semua khayalan.
Getar musik dan keindahan
larik-larik puisi yang layangkan haru dan kesedihan
Segenap rasa yang bergugus makna
Pijar-pijar doa yang labuhkan perih
Pertautan rindu dan dendam.

Karena tiada kukenal nama selain Ratna
Sekiranya ia manusia
Sekiranya ia tuhan
Sekiranya ia bukan siapa-siapa
kepada siapa harus aku kobarkan
api dalam jiwa ini
kepada siapa harus aku langitkan
doa dari perih ini
pinta dari serpih ini
puja dari luka ini
hanya untuk menera
satu-satunya cinta
dalam jiwaku?

2006

Tuesday, January 25, 2005

Menjelang Kematian Di Usia Muda
(tentang seorang penyair yang kesepian)

Usia merambat hingga penghujung entah. Menakik getah
yang paling perih. Kalbu membisik lirih mengusik pedih

Dan kau pun kehilangan kata-kata.
Di ujung lidahmu yang kelu.

Kuningan, Januari 2005


Setangkup Harap Yang Jadi Kesia-siaan
: Seorang Sahabat

Masih adakah kejujuran pada dirimu?
Wahai engkau penyair sekarat
Berbaring gelisah di atas bara hasrat

Mempertanyakan segala asa
dari semua harap yang lindap
di ujung-ujung penamu bergetar
oleh darah merah kesumba

Tak lagi kau temukan pengertian
Di atas lembaran-lembaran ganda
Sia-sia menanti pengharapan terakhir.

Kuningan, Januari 2005


aku bukanlah siapa-siapa
: Gusnoy

Kata-kataku telah jadi sebuah kematian
Ingatan yang berlalu bersama waktu

Dan dari semua pencapaian. Mungkin tak ada
yang sungguh-sungguh patut untuk di catat
selain sebuah kesadaran;
aku bukanlah siapa-siapa.

Kuningan, Januari 2005


Seekor Gagak Dengan Sayap Terluka
:Riesna Hapsari

Serentetan peristiwa telah jadi sublim
Membeku bersama waktu
Kesadaran yang akhirnya pulang
Kembali ke rumahnya yang baka

Tak ada tempat untuk sembunyi
Bagi jiwa yang kian terasing

Tidak juga bagiku;
Gagak dengan sayap terluka
lama pergi mencari
senyum dari bibir kekasih

tak kutemukan sesuatu pun di sana
kecuali seonggok tanah kuburan
yang telah lama mendingin

Kuningan 2005


Di mana Dapat Kutemukan Wajah Rembulan?
:kawan kecilku

Kuterakan saja tatapmu yang berbinar
pada angan-anganku, angin gemetar
merangkum merdu bunyi seloka
dari selaksa mimpi-mimpi tak pasti

Sementara…
Masih semburat di sini setangkup harap
dari bias-bias jemari malam
yang mengetuk kaca jendela

Dan senyum keragu-raguan
sebentar kemudian terpana
kembali menyisakan tanya
pada diriku:
“Di mana dapat kutemukan wajah rembulan
selain di wajah kecilmu, Nirmala?”

Kuningan, 2005


Memori Selepas Hujan

: smiley

Ada yang bertukar harap
Di pagi semendung ini

Langit tak menjanjikan apa-apa
Selain rintik-rintik hujan
Yang bening jernih
Menggertap dedaunan

Denting piano masih bergema
Di relung-relung sukma
Mengalunkan musik walsa
Dari symphony keabadian

Dan selewat hujan yang kepagian
Memoriku terus saja memutar
Mimpi-mimpiku semalam:

Di balik tumpukan buku-buku filsafat
Bayang tubuhmu telanjang
Menggigil kedinginan

Kuningan 2005


Tetapi
:Kepada Nanang

Akulah lelaki, rindumu. Kini
Terjerembab oleh pusaran waktu

Kita sama-sama terusir. Dari sorga yang hilang
Tenggelam di bawah lunas perahu Nuh.
Tak sempat menari atau menggumam keluh

Dan bibir yang berusaha
Mengeja kata-kata
Terbelenggu oleh kebekuan tetapi…

Kuningan 2005


Hasrat I

Tak kukira semua jadi begitu indah
Bila kata-kata tunduk
Pada hasrat kepenyairanku

Hasrat II

Kebebalan apa yang paling dungu
Selain diri seorang penyair
Yang tak mampu berkata-kata?

Tuesday, June 08, 2004

Pada Hari Kematian Kakek

Ada deru yang tinggalkan kampungku, iringan orang-orang sepanjang arah ke pemakaman sisakan debu yang melekat di ujung rerumputan. Jalanan jadi lengang, angin pun enggan berbisik, “ Kakek telah berpulang.”

Ada ngilu yang tinggal di dada menjelma isak yang tertahan di tenggorokan. Tapi aku tak bisa menangis, karena air mataku telah lama kering seperti juga sawah, tegalan dan sumur - mata air kita satu-satunya.

Kakek seperti menangkap isyarat, bulan yang mulai tua dan enggan menampakkan wajahnya. Jalanan ini telah lama berdebu dan rumah masa kecilku sudah mulai condong ke Barat. Pohon-pohon kelapa di depan rumah tak juga berbuah. Mungkin kakek sudah lelah dan kini ia ingin beristirahat.

Di rumah duka anak-anak kehilangan bapaknya dan cicit-cicit kehilangan cerita sebelum tidur, ayam dan kambing pun merasa kehilangan. Nenek masih menangis sesenggukan menciumi bayangan kekasihnya yang menempel di sajadah (saat sholat Subuh ia pergi). Semua orang menyimpan dukanya sendiri-sendiri.

Aku jadi merindukan hujan. Kuambil sejumput tembakau dan daun jagung kering milik Kakek, kulinting rokok sebatang dan kusulut diam-diam. “Hari ini kurayakan kepergianmu Kakek, pergilah dengan tenang, karena aku tahu di sanalah rumahmu abadi.”

Mengenang kakek istriku – kakekku juga,
18 Februari 2003

Warisan Nenek

Maafkan kami Nenek…hatimu telah tercuri
Bagai cadar embun yang menguap saat mentari tiba
Dan garammu jadi terasa demikian hambar.
Karena engkau adalah sengatan 1000 tawon pada tubuh kami
Tak ada lagi yang berkirim bunga kepadamu saat malam berkabut

Aku mau menangis atas kepapaan diriku
Mengabaikan semua petuah-petuah
Dari mulut nyinyirmu.

Nenek telah kehilangan keranda dan kerudung putih kesayangannya
Membuat semua orang jadi mengerti tentang arti sebuah mimpi.
Burung Tekukur masih nyanyikan lagu duka
Di antara nisan dan bunga kamboja yang berguguran
Kuburan jadi tempat yang begitu asing bagi jiwa-jiwa pemberontak
Di mana nisan cuma batu yang tak lagi tegak
Sedang kubur nenek cuma seonggok tanah
yang telah sepi pula dari kenangan.

Aku mau menangis atas kepapaan diriku
Mengabaikan semua petuah-petuah
Dari mulut nyinyirmu.

Nenek, engkau jadi begitu dingin,
simpan luka-luka dalam rabumu yang membusuk
(ah mungkin saja kau sedih dan kecewa)
Setelah kepergian Kakek tak ada lagi matahari di rumah besar itu!
Dan engkau harus relakan diri dicabik-cabik taring besi serigala
- anak cucumu sendiri yang kelaparan –

Magetan, 2002

Prosesi

Jiwaku terbelenggu oleh ketidak berdayaan
dalam kepulan asap rokok dan kenangan masa kanak-kanak.
Ada lembar catatan yang ingin kurobek dari buku hidupku
dan kukubur dalam bak sampah;
Semua perjalanan sepi dan kesia-siaan yang begitu sulit terlupa
Seperti belenggu yang mencucuk hidungku
dan menggelandangku ke mana-mana.

Aku berjalan dari satu gereja ke lain gereja
menerjemahkan bunyi lonceng
menangkap isyarat pada kerdip lilin
dan berjam-jam berlutut memohon hadirat-Nya.
Aku berasa bukan yang dulu lagi
musafir lelah dan hendak istirahatkan kaki,
tapi sebentar malam kan turun
sedang tujuanku belum juga sampai

Magetan,1998

Lelaki Yang Mati Angin

Engkau mengharap taman saat kukirim bunga pada hari ulang tahunmu, sepiring martabak pada pecahan telur Pondok Kelapa, es krim rasa vanili dan duit 10.000 perak. Aku menantimu di kamar tidur tak berbaju, merayakan kepedihan, seolah penantian akan membuatku terjaga dari kegelapan lampu yang mati sia-sia, bohlam 25 Watt dimakan cicak. Cintaku merayap di dinding hatimu yang retak sudah 7 tahun umurnya, mencatat semua kesepian, kecemburuan, dan penantian, barangkali ada lelah diantara kita diam-diam saja.

Bantal itu beku, juga sarung dan selimut seperti angin yang menggigil kedinginan menjelang fajar. Apakah hati sudah jadi lemari es yang simpan keraguan dan sejuta tanda tanya? Martabak menetes dari dahiku seperti acar yang terlampu banyak cuka menyanyikan kesendirian, buntu, mampat. Kukira kau membenciku dengan caramu sendiri sehingga kau hukum aku seperti ini; membiarkanku memeluk guling yang mati dan menangisi televisi sampai pukul 1 pagi. Bibir sudah penuh isapan jempol, wewangian yang ingkar dari dirinya sendiri, entah kata siapa itu? Sedang malam lewat begitu saja bersama cucuran air dari kran yang bocor, mengalir, mengalir lewat pipa yang gelap menuju got di depan rumah.

12 Mei 2003

Sebuah Pertanyaan Filosofis

Apakah engkau mempercayai kepedihan, yang membaca dirimu dengan tawa?
Apakah engkau mempercayai kebahagiaan, yang menulis dirimu dengan tangis?
Padahal hidup kita adalah sekelumit cerita; persis tawa dan tangis orang-orang gila.
Orang gila toh manusia juga
Tak lebih tak kurang seperti kita
Menghirup luka-luka dengan kedua lubang hidungnya
Membuang najis dengan satu lubang duburnya
Sesungguhnya kita bukan babi atau kera.
Yang rindu mendedah mimpi
Merangkai kata menjadi sebuah puisi
Kadang pula sibuk mencari makna kata-kata yang tersembunyi
Atau mengais-ngais tumpukan alinea yang sangsi atas eksistensinya sendiri
Apakah kau percaya dunia merapuh di mata kita?
Bukankah “manusia” telah disusun kembali dari huruf dan angka
Bukan sekedar menjalani ilusi
Hidup demikian tanpa arti
Seperti puisi hampa makna yang harus disusun kembali dari sebuah kekosongan.

2003

Perempuan

Perempuan, lukislah rembulan dan sentuhlah ia agar bercahaya
rengkuhlah langit dan kecuplah ia agar menangis
peluklah lautku dan kuyupkan aku dengan asmaramu
agar kumati…agar kumati.

Perempuan, lagumu merdu sajakmu syahdu
getarkan kelopak mawar merah birahiku, anggun perawanku
sentuhlah aku, sentuhlah aku
agar habis sangsiku…agar usai cintaku…agar sampai ajalku.

Perempuan, engkau binalku, engkau sajakku
kurangkum engkau dalam basah mimpiku…dalam teduh hasratku
duhai perempuanku
engkau Laksmi-ku, engkau Durga-ku
engkau siang dan malamku
engkau bumi dan lautku
engkau putih dan hitamku
engkau mimpi, engkau mimpi

Perempuanku, mata hatiku
sembilu penusuk dadaku
yang mengisi aku, yang kosong aku
yang rindu aku, yang dendam aku.
Perempuanku seru aku
panggil aku, sebut namaku
agar kumati…agar kumati
dengan senyum di bibir.

Akhir September 2003




Friday, March 26, 2004

Berjalan Ke Padang Mahsyar

nyaring denting resahku dari mimpi yang terkubur di pembaringan
hasrat berontak dari tikaman tombak yang menohok ulu hati
kurasakan nyerinya jauh di dada
membawa angan pergi kembara menghitung hari-hari sangsi
maut di pelupuk mata menyimpan gundah
menunggu waktu datang menjemput

apa yang kutahu dari risalah nasibku, selain gurat-gurat kecemasan?
tawa bocah kecilku jadi sumbang, bening mata gadisku jadi gamang
langit lengang membayang remang malam datang bergayut

sejenak tafakur di dalam sunyi melafal untaian mutiara doa
seluruh gugusan mata hati mencoba menepis selimut kabut
dari sumber Maha Cahaya

cukup jauh aku berjalan hingga purna segala hasrat
tapi di depan gerbang segala resah jadi menanti
waktu bergulir seperti pasir yang luruh ke padang Mahsyar
sedang daging masih lekat melekat seluruh harkat diri yang fana

2004
Jeruji

jeruji itu telah jadi jarak yang mengungkung hasratku mencium rembulan
dinding-dinding lapuk berlumut jadi petaka yang memenjara jiwa
karena telah aku kukuhkan rembulan di matamu
jadi satu-satunya mutiara di lautan malamku
tapi mengapa jiwa ini begitu gersang rindukan gemercik aliran sungaimu?
dalam deraan letih aku coba terus berjalan menelusuri padang kerontang ini
menepis debu demi debu, lengking tawa dan cemoohan hyena
yang menghujat pertalian takdir di antara kita

apa yang menghalangiku dari kematian? selain balutan gerimis
yang senantiasa menitik di sudut-sudut matamu?
memaksaku mengarungi malam demi malam dalam amukan badai
dan gemuruh kilat tak henti-henti memukuli dinding hati
tapi masih juga tak kutemukan pintu
untuk menyelami mimpimu, pedih dan risaumu dan sejuta angan
yang membuat ingatanmu pergi

jeruji itu telah jadi jarak yang memasung rusuh awan
dan setitik cahaya dalam genangan kepiluan

jadi, salahkah aku karena mencintai kepedihan?

Jakarta, Maret 2004

Aku Laki-Laki
Dan Engkau Perempuan


aku laki-laki tertegun
seperti matahari yang asyik
bermain kelamin sendiri
dengan jemari kanak-kanak
angan terbang bersama burung pertama kali
serupa elang atau rajawali suatu ketika nanti

engkau perempuan tersipu
serupa rembulan sembunyi
di balik belahan dada sendiri
dengan jemari kanak-kanak
mimpi terbang bersama pita warna-warni
serupa pelangi selepas hujan suatu ketika nanti

ya … suatu ketika nanti
saat kita menjelang dewaasa

Maret 2004

Thursday, March 18, 2004

Suatu Masa Untuk Terus Dikenang
:Buat orang-orang terkasih

Senja telah turun
Kusongsong serpihan mentari di ujung cakrawala
Cahya yang membuka mataku, hangatkan hatiku
Belum pernah kulihat langit seindah ini
Masa lalu dan masa kini
Melebur dalam jingga lazuardi

Detik-detik usia menyentuhku
Kelam malam yang ‘kan menguburku
Tak ada satu yang abadi
Wajah-wajah yang kukenal
Tak ada satu yang kekal

Saat senja ini memberat
Air mataku menitik
Segenap rasa untuk bersyukur
Sepenuh hati berterimakasih
Demikianlah aku tersentuh
Dalam sedikit sisa waktu
Menuturkan seluruh kisah
Untuk kalian yang kukasihi

Januari 2004

Hasrat Palsu Geliat Kupu-Kupu


Padam tawa oleh geliat kupu-kupu
Sederet nama dalam basah mimpiku
Tembok rapuh penuh hasrat palsu
Oleh tebalnya bibir bergincu

Gairah tak kunjung sirna
Dari tingginya tubir hati
Yang mengisi kedalaman pikirku
Nafsu yang terus menggelegak
Mencari jalannya pulang

Nama-nama itu seolah tak ingin dilupa
Merajut mimpi benang laba-laba
Menjerat hati yang kian rapuh
Menanam duri dalam derai gerimis
Mengerat luka demi luka
Yang lama tak juga luruh

Kapankah penantian ini usai
Sedang pisau kemunafikan
makin dalam menghunjam

November 2002

Gerimis Hujan Menulis Dalam Nadiku
: Randurini

Berarak awan menulis dalam nafasku
Bergulir rembulan menulis dalam ucapku
Gerimis hujan menulis dalam nadiku

Angin bicara sepatah kata
Dan melukis kembali gurat wajahku
Riap rambutku terakan makna
Di tiap-tiap helainya

Sajak berlagu dalam nada
Semesta rindu
Merentang hati kembara jauh
Melepas teduh

Genggaman hasrat tangan bumi
Ketat merengkuh diri
Terbang tinggi ke alam mimpi

Sungai kata mendera rasa
Bergolak jiwa yang rindu dendam
Berkecamuk hati yang remuk redam

September 2003

Jangan Tinggal Tanya

Gabak hati gabaklah mata
Ada sangsi di diri
Ada tanya di benak

Akankah aku menjadi kafir
karena menggugat takdir?

Surakarta, 27 Juli 1990







Haruskah Kubenci Orang Cina Karena Laparku?
: Pdt. Jarot Wijanarko

masih harus kuburu seekor tokek
merayap di dinding gedek gubukku
buat mengganjal gigitan lapar
tapi tokek berlari sambil keras berbunyi
tokek…tokek
suara tokek sinis mengejek
sengal napasku pendek karena bengek
tokek…tokek
pedih hasrat lambung yang lengket
dan perut buncit karena cacingan
tokek…tokek
makin nyaring tokek berbunyi
gerumuti kurap di kaki
runyap minta digaruk
tokek…tokek
dan tokek gegas berlari
sembunyi selamatkan diri
buyarkan hasrat mengganjal lapar
perut melilit makin menggigit
tokek…tokek
terbayang nikmat roti putih berisi
daging bertabur keju di toko Cina
sepulang ngamen siang tadi
tapi tolong apa dayaku
kantong melompong tiada hasil
liur meleleh mata melotot serupa tokek
hasrat membeku di jantung harap
dan tangan dekilku menodai etalase toko
tokek…tokek
melotot mata si engkoh, taoke pemilik toko
menghardikku dengan sumpah serapah:
dasal tokek sialan tak tahu diuntung
pigi kau dari tokoku!
tokek…tokek
tokek berlari
tokek sembunyi
meninggalkan lapar melilit
mencabik lambungku
haruskah kubenci orang Cina
karena laparku?

Kuningan, Maret 2004

Buah Yang Manis
:Agustinus Wahyono

sudah tiba saatnyakah bagiku untuk pergi?
manakala aku berasa sendiri saja
dimakan sepi?

apakah harus kutolak
cawan yang disodorkan ke tanganku?
sekalipun mungkin cawan itu penuh racun kepahitan

menunggu saat yang tepat untuk beranjak
dari pembaringan yang begitu nyaman
menyimpan penat dan keluh kesahku
seperti kulit kenari yang pecah
dan memperlihatkan semua biji-bijinya

aku bukanlah benih yang hampa
tapi kematian bukanlah sebuah perayaan sepi
karena aku ingin kematian yang sempurna
dalam buah-buah roh yang layak dituai
dari benih-benih yang aku tabur

atau biar ku mati sebagai seorang pejuang
ditengah ganasnya pertempuran
karena aku bukanlah seorang pengecut
seperti buah-buah kesemek
terikat di ranting tertinggi
menunggu jatuh
dan busuk di makan ulat

aku ingin orang mengecap manis buahku
dan aku akan pergi dengan sukacita

2004

Tuesday, March 09, 2004

Perjamuan Suci

saat konsekrasi
dosa manusia membayang atas hosti
dusta menggenang dalam cawan penuh berisi
anggur luka darahNya sendiri

Maret 2004

Monday, March 08, 2004

Karna Dalam Rahim Kunthi
:Mega Vristian

Kunthi menulis hasrat
di atas daun lontar
warna hijau lumut
tangisnya mengiba
terbawa desau angin
ketempat Pandu yang jauh
saat sinar rembulan jatuh
hamburkan serpih merjan
jadi sayatan pedih di hati

lama tak terdengar asmaradahana
dari bibir Kunthi
selewat malam mengeja embun
di ujung dahan
daun-daun menggigil
luruh
melayang
melawat Amarta
angin sunyi
lagu mati
megatruh
membayang
langit kelam Hastina

rembulan senyap
pias wajahnya
bentangkan tabir mimpi
antara Pandu dan Kunthi

setelah terima lontar
dari gigil embun
Kunthi mengabut
dalam mata Pandu
mengeja semua peristiwa
khianat waktu
lorong-lorong angin
sejauh jarak
antara yang nyata
dan bayangan maya
simpan renjana
atau bencana
jauh di dalam angan

batin yang sangsi
serupa pisau
menikam-nikam diri

:bayi dalam rahim Kunthi
adakah ia puisi
yang lahir dari imajinasi?

Februari 2004

Ikrar Sang Penjaga

aku tak akan tidur
aku akan terus berjaga
sekalipun iblis sendiri yang datang
bersama bala tentaranya
kakiku tak akan mundur
hatiku tak akan gentar

tak akan kubiarkan ia
mencuri jiwa anak-anakku
tak akan kubiarkan ia
melukai dirimu lagi, ibu

karena lebih baik aku mati
daripada mengecewakan hatimu*

Maret 2004

* Mikhail 'Misha' Saakashvili (21 Desember 1967) Presiden Georgia, sebuah negara kecil pecahan Uni Sovyet

This page is powered by Blogger. Isn't yours?