Links
Archives
Sekilas perjalanan mengumpulkan kilau-kilau embun, dari padang-padang tandus, taman-taman kepedihan, rimba-rimba gelap,dan tinggi gunung harapan. Di mana jalan-jalan kususuri meretas belukar, menyibak onak duri, mengejar angin, merepih mimpi selalu ada kilau untuk di catat, di tafsirkan kembali, di beri arti. selamat membaca Titon Rahmawan
Friday, January 30, 2004
Maha Lapar Dalam Diriku
Sepotong duri menusuk dadaku
Mendedah pilu menabur pedih
Nadi sesak terhimpit seribu tanya
Bagaimana meretas belenggu hasrat?
Resah merasuk diri karam membelam
Mencengkeram hati torehkan luka
Dahaga mencekik memutih mata
Jiwa tenggelam merunduk hampa
Sepi sendiri mengeja sepatah doa
Mencari makna dari gugusan air mata
Lirih luruh menggema nama
Maha lapar dalam diriku
November 2003
Betapa Rapuhnya Dunia Kita
:untuk anak-anakku Fanny dan Dion
Tengadah
Tangan-tangan kecil tengadah
Terhempas debu aspal jalanan
Terusir kaki-kaki kotor telanjang
Dari rapuhnya dunia kita
Mata-mata bocah itu
Tertusuk runcingnya peradaban
Gemerincing noda-noda
Lekat pada logam 500 perak
Sejenak mengisi perut lapar melilit
Dari sisa puntung di tengah jalan
Halte bus begitu keras menampar
Angin mati dan mata-mata nyalang
Gumamkan sumpah serapah
Gemerincing bunyi tutup botol
Cikcik bumbum cikcik bumbum
Roda-roda begitu rapuh berlari
Oleng ke kanan ke kiri
Menangisi perut lapar mereka
Tak biarkan tangan tengadah sejenak
Demi setitik air yang bakal turun dari langit
Mata-mata kecil itu berdarah
Tak ada mendung
Tak ada hujan yang bakal turun
Untuk waktu yang lama
Sangat lama….
Angin mati
Sedang debu lekat saja mencekik
Leher-leher hitam berdaki
Bekasi, Desember 2003
Sepotong duri menusuk dadaku
Mendedah pilu menabur pedih
Nadi sesak terhimpit seribu tanya
Bagaimana meretas belenggu hasrat?
Resah merasuk diri karam membelam
Mencengkeram hati torehkan luka
Dahaga mencekik memutih mata
Jiwa tenggelam merunduk hampa
Sepi sendiri mengeja sepatah doa
Mencari makna dari gugusan air mata
Lirih luruh menggema nama
Maha lapar dalam diriku
November 2003
Betapa Rapuhnya Dunia Kita
:untuk anak-anakku Fanny dan Dion
Tengadah
Tangan-tangan kecil tengadah
Terhempas debu aspal jalanan
Terusir kaki-kaki kotor telanjang
Dari rapuhnya dunia kita
Mata-mata bocah itu
Tertusuk runcingnya peradaban
Gemerincing noda-noda
Lekat pada logam 500 perak
Sejenak mengisi perut lapar melilit
Dari sisa puntung di tengah jalan
Halte bus begitu keras menampar
Angin mati dan mata-mata nyalang
Gumamkan sumpah serapah
Gemerincing bunyi tutup botol
Cikcik bumbum cikcik bumbum
Roda-roda begitu rapuh berlari
Oleng ke kanan ke kiri
Menangisi perut lapar mereka
Tak biarkan tangan tengadah sejenak
Demi setitik air yang bakal turun dari langit
Mata-mata kecil itu berdarah
Tak ada mendung
Tak ada hujan yang bakal turun
Untuk waktu yang lama
Sangat lama….
Angin mati
Sedang debu lekat saja mencekik
Leher-leher hitam berdaki
Bekasi, Desember 2003
Sebuah Pertanyaan Filosofis
Apakah engkau mempercayai kepedihan, yang membaca dirimu dengan tawa?
Apakah engkau mempercayai kebahagiaan, yang menulis dirimu dengan tangis?
Padahal hidup kita adalah sekelumit cerita; persis tawa dan tangis orang-orang gila.
Orang gila toh manusia juga
Tak lebih tak kurang seperti kita
Menghirup luka-luka dengan kedua lubang hidungnya
Membuang najis dengan satu lubang duburnya
Sesungguhnya kita bukan babi atau kera.
Yang rindu mendedah mimpi
Merangkai kata menjadi sebuah puisi
Kadang pula sibuk mencari makna kata-kata yang tersembunyi
Atau mengais-ngais tumpukan alinea yang sangsi atas eksistensinya sendiri
Apakah kau percaya dunia merapuh di mata kita?
Bukankah “manusia” telah disusun kembali dari huruf dan angka
Bukan sekedar menjalani ilusi
Hidup demikian tanpa arti
Seperti puisi hampa makna yang harus disusun kembali dari sebuah kekosongan.
2003
Usaha Membuat Tanah
Aku telah mencatat kembali seluruh cerita
Dari perjalanan yang telah lampau
Waktu yang tak pernah berhenti berpikir
Mencoba menyusun dirinya kembali
Dari bongkaran puing-puing peradaban yang bisu
Kisah yang membuatku menangis
Aku sudah melihat kaki kecil anakku
Yang tumbuh demikian cepat
Seolah baru kemarin ia muncul dari perutku
Dan menanam bunga di pinggir kali
Kaki-kaki itu kini menjejak peradaban yang angker
Perasaan yang membuatku menggigil
Karena jiwa kami kian jauh terusir dari rumah
Di tanah ini semua terasa begitu pahit
Seperti sebuah akherat, tempat yang asing
Seperti jalan yang semakin terpinggirkan
Tidak ada negara seperti ini
Yang membuat kekuasaan
Dalam batok kepala setiap orang
Semua begitu sarat oleh beban
Hutang dalam darah setiap bayi yang lahir
Telah membuat orang-orang lain menangis juga
Hidup seperti iring-iringan jenazah
Bingung mencari tanah yang kosong
Sedang mayat mereka yang mati
Harus segera dikuburkan
2004
Apakah engkau mempercayai kepedihan, yang membaca dirimu dengan tawa?
Apakah engkau mempercayai kebahagiaan, yang menulis dirimu dengan tangis?
Padahal hidup kita adalah sekelumit cerita; persis tawa dan tangis orang-orang gila.
Orang gila toh manusia juga
Tak lebih tak kurang seperti kita
Menghirup luka-luka dengan kedua lubang hidungnya
Membuang najis dengan satu lubang duburnya
Sesungguhnya kita bukan babi atau kera.
Yang rindu mendedah mimpi
Merangkai kata menjadi sebuah puisi
Kadang pula sibuk mencari makna kata-kata yang tersembunyi
Atau mengais-ngais tumpukan alinea yang sangsi atas eksistensinya sendiri
Apakah kau percaya dunia merapuh di mata kita?
Bukankah “manusia” telah disusun kembali dari huruf dan angka
Bukan sekedar menjalani ilusi
Hidup demikian tanpa arti
Seperti puisi hampa makna yang harus disusun kembali dari sebuah kekosongan.
2003
Usaha Membuat Tanah
Aku telah mencatat kembali seluruh cerita
Dari perjalanan yang telah lampau
Waktu yang tak pernah berhenti berpikir
Mencoba menyusun dirinya kembali
Dari bongkaran puing-puing peradaban yang bisu
Kisah yang membuatku menangis
Aku sudah melihat kaki kecil anakku
Yang tumbuh demikian cepat
Seolah baru kemarin ia muncul dari perutku
Dan menanam bunga di pinggir kali
Kaki-kaki itu kini menjejak peradaban yang angker
Perasaan yang membuatku menggigil
Karena jiwa kami kian jauh terusir dari rumah
Di tanah ini semua terasa begitu pahit
Seperti sebuah akherat, tempat yang asing
Seperti jalan yang semakin terpinggirkan
Tidak ada negara seperti ini
Yang membuat kekuasaan
Dalam batok kepala setiap orang
Semua begitu sarat oleh beban
Hutang dalam darah setiap bayi yang lahir
Telah membuat orang-orang lain menangis juga
Hidup seperti iring-iringan jenazah
Bingung mencari tanah yang kosong
Sedang mayat mereka yang mati
Harus segera dikuburkan
2004
Kita Tak Lebih Anjing!
Saudaraku
Mari menata ingatan dari sejarah yang menulis dirinya kembali
Lewat manuskrip-manuskrip rahasia yang menyusun dunia
Mencatat bencana demi bencana
Menulis perang demi perang
Demi luka-luka yang terkapar
Demi darah yang titik dari zaman ke zaman
Yang menorehkan kepedihan di padang-padang perburuan
Saudaraku
Mari rombak kembali struktur peradaban
Tafsir kembali semua mimpi
Suara-suara yang menepis ingatan:
Dendam dan kebencian
Manipulasi dan penghujatan sejarah
Kerbau yang digiring ke arena pembantaian
Karena kita tak lebih dari anjing kelaparan
Saling baku gigit berebut tulang.
Jakarta, Desember 2003
Menara Gading
bocah itu berkata
:telah kutanggalkan jubah bapak
dari puncak menara gading
tatkala mereka menghampiriku
dengan darah menitik di ujung pena
mereka tak berpedang tak berbusur
tapi mata-mata itu menyihirku
seperti angin
dan angin mendesah dalam bibir bocahku
:jadi kutanggalkan jubah bapak
dari puncak menara gading
mataku buram oleh embun
batin muram begitu pedih
:kenapa menangis bapak
bukankah itu yang kau inginkan
melepas diri dari onani pikiran
dan istirah sejenak dari belenggu hasrat
lalu bocah itu kembali sibuk
dengan bidak-bidak caturnya
membiarkanku kembali
kepada sepi
aku berasa sendiri
serupa Ayub merambah kepedihan
2004
Jurang Di Belakang Kaki Manusia
Harapan datang seperti sebuah kata yang usang
Selalu begitu semenjak awal mula
Adam yang terusir dari pikirannya
Dalam tangisan Firdaus yang berdebu
Sekali lagi harapan harus menulis sejarahnya
Dalam bahtera Nuh yang diguncang badai
Terombang-ambing oleh kesangsian
Turunnya hujan yang tak kunjung reda
Berapa kali lagi manusia harus bertanya
Sementara perjalanan telah jadi ziarah perkabungan
Kisah-kisah yang terlepas dari kitab kehidupan
Dan manusia makin ciptakan jarak
Jurang menganga antara dirinya
Dan setitik harap yang makin jauh tertinggal.
2004
Jarak Antara Kemenangan Sejati Dengan Kesombongan Diri
Biar aku berhenti bicara
Dan buang segala kekosongan
Tak ingin kudengar lagi sumpah serapah
Karena langit sedang tersenyum padaku
Bersama roh-roh orang mati
Aku akan menikam tebing itu dengan pisauku
Dan kutetak gunung dengan golokku
Karena setiap tebing membuatku berhenti
Mengeja alunan nafas
Tak akan ada lagi kekalahan
Karena hari esok bukan untuk kegagalan
Ada batas antara aku dengan gunungku
Ada jarak antara kemenangan sejati
Dan kesombongan diri
Jakarta, Awal desember 2003
Akhiri Semua Kebencian
Biar hapus luka-luka
Dari kelam mata yang garang
Setitik darah beku
Terlahir dendam dan ajal
Lepas kungkungan tirani
Mengejar naluri nafsu hewani
Tercabik tajam taring besi gergasi
Membayang segala lemah pikiran
Terpulang seluruh belenggu nafsu
Tersesat gulita kabut hasrat
Setiap kebencian harus diakhiri
Dengan sebuah garis pembatas
Agar batu tak jadi belenggu
Yang kian lama kian menjerat
Januari 2004
Hasrat Sebuah Kelahiran
Semua yang aku inginkan
Iblis telah mencurinya dariku
Musik yang merdu
Puisi yang menyentuh
Mengapa aku begitu takut pada kebenaran
Apakah karena sebuah tikaman kenyataan
Aku telah mandul sebelum melahirkan
Anak-anak zaman dari rahimku
Anak-anak yang akan menerakan namaku di dahinya
Apakah waktu akan mendepakku keluar
Dari percaturan sejarah semesta
Dan dari buku kehidupanku sendiri
Sekiranya masih ada sekali kesempatan
Dan setitik saja tinta dalam penaku
Aku akan menghajar setan
Dalam kesempatan pertama kelahiranku
Dan dengan tanganku sendiri
Akan kuremukkan batang lehernya.
Januari 2004
Saudaraku
Mari menata ingatan dari sejarah yang menulis dirinya kembali
Lewat manuskrip-manuskrip rahasia yang menyusun dunia
Mencatat bencana demi bencana
Menulis perang demi perang
Demi luka-luka yang terkapar
Demi darah yang titik dari zaman ke zaman
Yang menorehkan kepedihan di padang-padang perburuan
Saudaraku
Mari rombak kembali struktur peradaban
Tafsir kembali semua mimpi
Suara-suara yang menepis ingatan:
Dendam dan kebencian
Manipulasi dan penghujatan sejarah
Kerbau yang digiring ke arena pembantaian
Karena kita tak lebih dari anjing kelaparan
Saling baku gigit berebut tulang.
Jakarta, Desember 2003
Menara Gading
bocah itu berkata
:telah kutanggalkan jubah bapak
dari puncak menara gading
tatkala mereka menghampiriku
dengan darah menitik di ujung pena
mereka tak berpedang tak berbusur
tapi mata-mata itu menyihirku
seperti angin
dan angin mendesah dalam bibir bocahku
:jadi kutanggalkan jubah bapak
dari puncak menara gading
mataku buram oleh embun
batin muram begitu pedih
:kenapa menangis bapak
bukankah itu yang kau inginkan
melepas diri dari onani pikiran
dan istirah sejenak dari belenggu hasrat
lalu bocah itu kembali sibuk
dengan bidak-bidak caturnya
membiarkanku kembali
kepada sepi
aku berasa sendiri
serupa Ayub merambah kepedihan
2004
Jurang Di Belakang Kaki Manusia
Harapan datang seperti sebuah kata yang usang
Selalu begitu semenjak awal mula
Adam yang terusir dari pikirannya
Dalam tangisan Firdaus yang berdebu
Sekali lagi harapan harus menulis sejarahnya
Dalam bahtera Nuh yang diguncang badai
Terombang-ambing oleh kesangsian
Turunnya hujan yang tak kunjung reda
Berapa kali lagi manusia harus bertanya
Sementara perjalanan telah jadi ziarah perkabungan
Kisah-kisah yang terlepas dari kitab kehidupan
Dan manusia makin ciptakan jarak
Jurang menganga antara dirinya
Dan setitik harap yang makin jauh tertinggal.
2004
Jarak Antara Kemenangan Sejati Dengan Kesombongan Diri
Biar aku berhenti bicara
Dan buang segala kekosongan
Tak ingin kudengar lagi sumpah serapah
Karena langit sedang tersenyum padaku
Bersama roh-roh orang mati
Aku akan menikam tebing itu dengan pisauku
Dan kutetak gunung dengan golokku
Karena setiap tebing membuatku berhenti
Mengeja alunan nafas
Tak akan ada lagi kekalahan
Karena hari esok bukan untuk kegagalan
Ada batas antara aku dengan gunungku
Ada jarak antara kemenangan sejati
Dan kesombongan diri
Jakarta, Awal desember 2003
Akhiri Semua Kebencian
Biar hapus luka-luka
Dari kelam mata yang garang
Setitik darah beku
Terlahir dendam dan ajal
Lepas kungkungan tirani
Mengejar naluri nafsu hewani
Tercabik tajam taring besi gergasi
Membayang segala lemah pikiran
Terpulang seluruh belenggu nafsu
Tersesat gulita kabut hasrat
Setiap kebencian harus diakhiri
Dengan sebuah garis pembatas
Agar batu tak jadi belenggu
Yang kian lama kian menjerat
Januari 2004
Hasrat Sebuah Kelahiran
Semua yang aku inginkan
Iblis telah mencurinya dariku
Musik yang merdu
Puisi yang menyentuh
Mengapa aku begitu takut pada kebenaran
Apakah karena sebuah tikaman kenyataan
Aku telah mandul sebelum melahirkan
Anak-anak zaman dari rahimku
Anak-anak yang akan menerakan namaku di dahinya
Apakah waktu akan mendepakku keluar
Dari percaturan sejarah semesta
Dan dari buku kehidupanku sendiri
Sekiranya masih ada sekali kesempatan
Dan setitik saja tinta dalam penaku
Aku akan menghajar setan
Dalam kesempatan pertama kelahiranku
Dan dengan tanganku sendiri
Akan kuremukkan batang lehernya.
Januari 2004
Thursday, January 29, 2004
Buah Cinta
: Stephanie dan Dion
semalam Bapak berpesan sebelum kutidur,
“Ambilah cinta ini dari pohonku!”
dan lalu aku bermimpi
memanjat pohon tinggi
dan hasrat penuh
memetik buah-buahnya
sampai kemudian seseorang berbisik
dalam wujud seekor ular,
“Jangan, jangan kau ambil buah cinta itu
karena kau akan tertidur 1000 tahun!”
kuingat senyum Bapak
dan kutatap lidah ular
yang terjulur ke arah mukaku
lalu kuputuskan memetik buah itu
dan memakannya
semenjak saat itu
aku tak pernah terjaga lagi
Kuningan 2004
Kuncup-Kuncup Mawar Di Taman Adikku
: Novieta Riesna Hapsari
Adik, bagaimana mengukur nilai sebuah jerih payah
Bunga-bunga penuh api dan duri-duri dari perjalanan penatmu
Mengapa masih kau simpan kemarahanmu?
Seolah aku onak yang akan mencucuk jarimu?
Bukankah aku sama mengaduh ketika kau jatuh
Aku sama menangis mencerna sesakmu, perihmu
Dari kabur kaca jendela yang sembunyikan bunga-bunga mimpi itu
Sedang lukaku memerah seperti kelopak-kelopak mawar itu
Bila saja kau mau mendengar
Tak ada duri rahasia diantara kita
Sekali pun kau coba menyembunyikannya
Bukankah bunga-bunga mawar itu tak tumbuh dengan sendirinya
Ia butuh sentuhan lembut tanganmu, air mata kasihmu
Biarpun sesekali darahmu menitik
Oleh ujung duri-durinya yang runcing
Tapi bila masanya tiba ia akan memenuhi hatimu
Dengan senyum kebahagiaan
Yang tak akan pernah kau temukan di taman mana pun
Selain tamanmu sendiri
2004
Elegi Daun-Daun Gugur
Haruskah hidup melupakan kemalangan
Takdir yang datang perlahan
Menelan semua perolehannya
Rasa bersalah
Adalah daun-daun gugur di musim kering
Tanah berdebu dan awan kelabu, larut
Bumi begitu pucat
Seperti menyimpan kepedihan dalam matanya
Angin memendam tangis
Begitu rapuh, begitu mudah terluka
Duri-duri tajam menusuk
Ke dalam hati papa
Dan manusia jauh sembunyi
Mengasingkan diri
Dari kehidupan yang fana
Januari 2003
Rhapsody Tengah Malam
: adikku Riesna dan Irfan
Aku termangu dalam kepungan malam
Waktu yang gemetar begitu sendu
Nada-nada lirih merintih
Jauh mengalun merasuk sukma
Tak pernah kudengar rhapsody semanis ini
Tatkala renung berenang sendiri
Dalam kemuraman kopi kental
Dan udara dingin yang mabuk
Apa yang lebih menyentuh
Dari bunyi denting piano
Di malam yang rapuh
Membesut jiwa-jiwa sepi
Mengantar ke peraduan mimpi
Dan angan terbang menggapai rembulan
Yang mengerling di ujung malam
Januari 2004
Apa Yang Membuatku Bahagia
Kekasihku
Akan kubisikkan padamu seuntai kata
Apa yang benar-benar membuatku bahagia
Jiwaku selalu gelisah oleh seribu pertanyaan:
Jadikah kepapaanku bila tanganku terus saja memberi?
Jadikah kemalanganku bila hatiku tak henti mengasihi?
Akankah hasratku kering bila sumberku terus saja di timba para musafir?
Akankah aku terpenjara dalam gulita bila cahaya yang meliputiku menjadi suluh bagi para pejalan yang tersesat?
Apa yang hilang dari diriku bila aku lebih banyak mendengar dan berhenti bicara?
Apakah kelaparanku bila sisa bekalku dicuri oleh gembel-gembel di pinggir jalan?
Sedang bahaya apa yang akan menimpaku bila hatiku senantiasa tenteram?
Sedang kematian apa yang aku pedihkan bila aku tak pernah merasa kehilangan?
Duhai kekasihku
Dalam perjalananku kutemukan jawaban ini:
Bahwa sungai tak pernah mendendam laut
Sedang laut tak pernah mendendam mentari
Karena mereka mengerti darimana mereka datang
Dan kemana mereka akan pergi
Kebahagiaan adalah sungai yang bertemu lautnya
Seperti juga kemudian kupahami
Kemana seharusnya air mataku bergulir
Selain keharibaan para pecinta sesama
Kemana seharusnya senyumku terkembang
Selain ke dalam hati para kekasih Allah.
Desember 2003
: Stephanie dan Dion
semalam Bapak berpesan sebelum kutidur,
“Ambilah cinta ini dari pohonku!”
dan lalu aku bermimpi
memanjat pohon tinggi
dan hasrat penuh
memetik buah-buahnya
sampai kemudian seseorang berbisik
dalam wujud seekor ular,
“Jangan, jangan kau ambil buah cinta itu
karena kau akan tertidur 1000 tahun!”
kuingat senyum Bapak
dan kutatap lidah ular
yang terjulur ke arah mukaku
lalu kuputuskan memetik buah itu
dan memakannya
semenjak saat itu
aku tak pernah terjaga lagi
Kuningan 2004
Kuncup-Kuncup Mawar Di Taman Adikku
: Novieta Riesna Hapsari
Adik, bagaimana mengukur nilai sebuah jerih payah
Bunga-bunga penuh api dan duri-duri dari perjalanan penatmu
Mengapa masih kau simpan kemarahanmu?
Seolah aku onak yang akan mencucuk jarimu?
Bukankah aku sama mengaduh ketika kau jatuh
Aku sama menangis mencerna sesakmu, perihmu
Dari kabur kaca jendela yang sembunyikan bunga-bunga mimpi itu
Sedang lukaku memerah seperti kelopak-kelopak mawar itu
Bila saja kau mau mendengar
Tak ada duri rahasia diantara kita
Sekali pun kau coba menyembunyikannya
Bukankah bunga-bunga mawar itu tak tumbuh dengan sendirinya
Ia butuh sentuhan lembut tanganmu, air mata kasihmu
Biarpun sesekali darahmu menitik
Oleh ujung duri-durinya yang runcing
Tapi bila masanya tiba ia akan memenuhi hatimu
Dengan senyum kebahagiaan
Yang tak akan pernah kau temukan di taman mana pun
Selain tamanmu sendiri
2004
Elegi Daun-Daun Gugur
Haruskah hidup melupakan kemalangan
Takdir yang datang perlahan
Menelan semua perolehannya
Rasa bersalah
Adalah daun-daun gugur di musim kering
Tanah berdebu dan awan kelabu, larut
Bumi begitu pucat
Seperti menyimpan kepedihan dalam matanya
Angin memendam tangis
Begitu rapuh, begitu mudah terluka
Duri-duri tajam menusuk
Ke dalam hati papa
Dan manusia jauh sembunyi
Mengasingkan diri
Dari kehidupan yang fana
Januari 2003
Rhapsody Tengah Malam
: adikku Riesna dan Irfan
Aku termangu dalam kepungan malam
Waktu yang gemetar begitu sendu
Nada-nada lirih merintih
Jauh mengalun merasuk sukma
Tak pernah kudengar rhapsody semanis ini
Tatkala renung berenang sendiri
Dalam kemuraman kopi kental
Dan udara dingin yang mabuk
Apa yang lebih menyentuh
Dari bunyi denting piano
Di malam yang rapuh
Membesut jiwa-jiwa sepi
Mengantar ke peraduan mimpi
Dan angan terbang menggapai rembulan
Yang mengerling di ujung malam
Januari 2004
Apa Yang Membuatku Bahagia
Kekasihku
Akan kubisikkan padamu seuntai kata
Apa yang benar-benar membuatku bahagia
Jiwaku selalu gelisah oleh seribu pertanyaan:
Jadikah kepapaanku bila tanganku terus saja memberi?
Jadikah kemalanganku bila hatiku tak henti mengasihi?
Akankah hasratku kering bila sumberku terus saja di timba para musafir?
Akankah aku terpenjara dalam gulita bila cahaya yang meliputiku menjadi suluh bagi para pejalan yang tersesat?
Apa yang hilang dari diriku bila aku lebih banyak mendengar dan berhenti bicara?
Apakah kelaparanku bila sisa bekalku dicuri oleh gembel-gembel di pinggir jalan?
Sedang bahaya apa yang akan menimpaku bila hatiku senantiasa tenteram?
Sedang kematian apa yang aku pedihkan bila aku tak pernah merasa kehilangan?
Duhai kekasihku
Dalam perjalananku kutemukan jawaban ini:
Bahwa sungai tak pernah mendendam laut
Sedang laut tak pernah mendendam mentari
Karena mereka mengerti darimana mereka datang
Dan kemana mereka akan pergi
Kebahagiaan adalah sungai yang bertemu lautnya
Seperti juga kemudian kupahami
Kemana seharusnya air mataku bergulir
Selain keharibaan para pecinta sesama
Kemana seharusnya senyumku terkembang
Selain ke dalam hati para kekasih Allah.
Desember 2003
Batu-Batu Tak Mati
Tak seperti yang lalu
Batu-batu tak mati
Tegak berdiri menatapmu
Dendangkan sajakmu
Mencatat jejakmu
Sepanjang musim berlalu
Batu-batu masih selalu setia
Menguntit langkah-langkah kita
Ke lorong-lorong kata
Ke padang-padang bahasa
Dan batu masih tegak berdiri
Mengeja serpih-serpih makna
Yang hambur dari mulut mimpi
Dan kesunyian
2004
Tak seperti yang lalu
Batu-batu tak mati
Tegak berdiri menatapmu
Dendangkan sajakmu
Mencatat jejakmu
Sepanjang musim berlalu
Batu-batu masih selalu setia
Menguntit langkah-langkah kita
Ke lorong-lorong kata
Ke padang-padang bahasa
Dan batu masih tegak berdiri
Mengeja serpih-serpih makna
Yang hambur dari mulut mimpi
Dan kesunyian
2004
Kepada Manusia
angin menanam mawar
pada bumi resah ini
mawar dan duri-duri
sekeping isyarat
buat manusia
cuma manusia
luka
papa
daun-daun menguning
runduk
pudar
dingin yang gemetar
mengusik resah
layu
gugur
ratap tanah
basah tangis kerikil
menggertap hujan
menggigil hujan
sendu batu-batu
bisu batu-batu
kelu
beku
lelah kepak sayap serangga
memukul-mukul udara
senja mengabur
langit melebur
duka dalam diriKu
Jakarta, 2004
angin menanam mawar
pada bumi resah ini
mawar dan duri-duri
sekeping isyarat
buat manusia
cuma manusia
luka
papa
daun-daun menguning
runduk
pudar
dingin yang gemetar
mengusik resah
layu
gugur
ratap tanah
basah tangis kerikil
menggertap hujan
menggigil hujan
sendu batu-batu
bisu batu-batu
kelu
beku
lelah kepak sayap serangga
memukul-mukul udara
senja mengabur
langit melebur
duka dalam diriKu
Jakarta, 2004