<$BlogRSDURL$>

Sekilas perjalanan mengumpulkan kilau-kilau embun, dari padang-padang tandus, taman-taman kepedihan, rimba-rimba gelap,dan tinggi gunung harapan. Di mana jalan-jalan kususuri meretas belukar, menyibak onak duri, mengejar angin, merepih mimpi selalu ada kilau untuk di catat, di tafsirkan kembali, di beri arti. selamat membaca Titon Rahmawan

Friday, February 20, 2004

Renjana

Kuda-kuda kelabu berlari membawa debu dari buku catatanku yang sematkan namamu di halaman pertama; gambar wajahmu, sketsa tanpa warna dan untaian kata-kata yang simpan renjana untuk sebuah nama, sebuah nama yang lain yang sesungguhnya engkau kenal begitu dalam. Ada goresan tanganmu dalam catatan itu saat kau coba menyusun kembali makna dari ruang-ruang kosong terbengkalai di antara kita yang masih tersembunyi menciptakan jarak demikian asing.

Namamu hanyalah sebuah fatamorgana dari bumi yang terbelah, matahari seperti api di atas penggorengan dan laut menggelegak dengan langit merah membara di batas cakrawala. Begitu pula nama seseorang yang lain yang selalu kusebut diam-diam, ia bukan malaikat dalam hatiku tapi selalu hadir dalam rinai hujan yang membuat kaca jendela berembun. Aku selalu menulis namanya di situ dengan jari-jariku yang basah

Aku tahu batinmu menangis setiap kali aku berdiri di depan jendela menatap hujan – melukis rembulan, seperti menafsirkan mimpi dari debu-debu yang beterbangan membawa kuda-kuda kelabu itu pergi dari buku catatanku yang semakin usang menciptakan ruang-ruang kosong nan sepi di antara kita.

September 2003

Biarkan Embun Nyanyikan Irama Hujan

Orang-orang berdiri dalam derasnya hujan menatap pancaroba dan lautan penuh cahaya, tangan menggapai seolah ingin meraih kilau setiap tetes air, berjuta-juta manik-manik membasahi tubuh, wajah-wajah tertawa, dan kaki-kaki riang menari mainkan lumpur. Payung dedaunan telah menyimpan saratnya hujan dan mantel rerumputan memuat jiwa-jiwa dalam sebuah seloka yang penuh warna, hijau, biru, kuning, dan merah muda.

Embun jatuh di atas bebatuan nyanyikan irama hujan dengan nada gembira, mengetuk pintu dan jendela, genteng terracotta dan hatimu pula, ada irama jazz di sana yang telah lama merindukanmu lewat sekuntum bunga yang hampir layu. Kita sama-sama berdiri di dalam derasnya hujan, bersama orang-orang lain juga, menikmati segarnya titik hujan pertama dari musim pancaroba ini. Hujan telah mengubah hati kita dalam perhitungan waktu serba tak terduga, irama hujan telah menyihir kita jadi dedaunan, jadi rerumputan, jadi bebatuan, menjadi musik jazz, menjadi bunga, menjadi tawa, menjadi laut penuh cahaya, berjuta-juta, berjuta-juta.

Juni, 2003

Mitologi Dari Sepasang Kupu-Kupu Dan Pohon Dalam Perut Istriku

Istriku menangis, air matanya deras mengucur menyemai benih yang kutanam dalam rahimnya. Benih itu tumbuh subur bersama keping-keping kecemasan, sebentuk mimpi buruk dan alang-alang liar yang getir. Haruskah aku turut menangis, seperti tetesan embun musim penghujan yang rindukan rerumputan? Sebetulnya aku ingin menanam buku-buku: mitologi, antropologi, sejarah, dan psikologi di depan jendela, mengusir kegelisahan dari sepasang kupu-kupu yang terperangkap sarang laba-laba.

Jendela itu begitu tua menyimpan dirinya, sesungguhnya ia adalah sebuah manuskrip rahasia yang pertautkan kisah-kisah penuh ironi dan tragedi masa lampau. Istriku sering berdiri di sana menatap kesenyapan atau mungkin juga ia sedang menafsirkan masa depan menurut guratan tangan dedaunan yang berguguran dipekarangan. Aku baru tahu perut istriku sudah sebesar bola, kukira pohon dalam perutnya mulai berbunga, aku dapat merasa-kannya, aku dapat merasakan getarannya, bahkan saat aku berbaring. Aku suka sekali berbaring di atas perut istriku dan merasakan getaran-getaran aneh itu, seperti ada kerinduan yang besar untuk kembali berada di dalam dirinya.

Istriku menangis, air matanya memenuhi tempat tidur dengan kuncup-kuncup bunga matahari, ada sepasang kupu-kupu terperangkap di sana meronta- ronta mencari kebebasannya seperti berontak dari kungkungan waktu yang berjalan cepat dalam gerimis dan membuat tanda pada kulit pohon dalam perut istriku yang mulai berbuah, semenjak saat itu istriku tak lagi menangis.

Ulang tahun Dion – ulang tahunku





Wednesday, February 18, 2004

Ayahku

Ia yang lembut adalah ayahku
Tonggak takdir yang tegakkan diriku
Gugusan anak tangga yang kudaki
Dalam rentang usia
Memulai hidup hingga tumbuh menua

Ia adalah guru yang mengikatku
Mencambuk punggungku
Lalu membebaskanku
Menjadikan diriku manusia

Ia yang ramah adalah ayahku
Aku adalah benih dalam tangannya
Tumbuh dalam bayang-bayang musim
Aku berdiri tegak sama tinggi
Di atas bumi tempat ia berdiri
Dan di situ pula namanya terpatri

Januari 2004

Bapak Adalah Magi

Aku baru saja membaca Malna, dan menemukan diriku menjadi hijau dalam sajaknya, seperti ketika aku membaca Bapakku dan menjadi biru dalam mimpiku. Bapak sudah memenuhi rumahku dengan dirinya. Bagiku Bapak adalah magi; kekuatan gaib yang mengepung hidupku, batu yang mengapung di dalamku, air yang luber di diriku, udara yang memenuhi nafasku, hasrat yang mengalir dalam pembuluhku, semangat yang memompa jantungku, listrik yang berkelejatan dalam otakku. Bapak adalah benih yang tumbuh dalam hatiku, akar yang merambati bawah sadarku, bunga yang memenuhi mimpiku, pohon yang membuatku tegak.

Begitulah, aku selalu membawa Bapak ke mana saja, dan Bapak selalu lahir dan lahir kembali dalam diriku seperti menggoreskan sebuah lingkaran kata-kata yang lahir dari Bapak dan kembali kepada Bapak. Sesungguhnyalah Bapak telah menjadi magi bagiku, cukup satu saja katanya sanggup menyihirku menjadi apa saja.

Kembali kepada Bapak, 2003

Puing Kata-Kata

tak semua peduli padaman api unggun ini
sedang seseorang sibuk mengorek reruntuhan puing kata-kata
padang-padang menghantar kilat, kilas cahaya
menuntun langkah kaki ke tengah peradaban beku pemahaman makna

masih ada seseorang di luar sana
resah menunggu datangnya inspirasi yang agungkan kemurnian jiwa
lewat tetesan embun sirna oleh hadirnya fajar

padahal telah turun kata-kata di sini seperti awal penciptaan
yang menyusun dirinya kembali dari kekosongan
pikiran hampa bergerak dalam genangan sang waktu

seseorang masih saja sibuk menafsirkan mimpinya kembali
dedahkan pisau hasrat pada serpihan kata-kata
sedang jiwa buntu oleh bebalnya pikiran.

November 2003

This page is powered by Blogger. Isn't yours?