<$BlogRSDURL$>

Sekilas perjalanan mengumpulkan kilau-kilau embun, dari padang-padang tandus, taman-taman kepedihan, rimba-rimba gelap,dan tinggi gunung harapan. Di mana jalan-jalan kususuri meretas belukar, menyibak onak duri, mengejar angin, merepih mimpi selalu ada kilau untuk di catat, di tafsirkan kembali, di beri arti. selamat membaca Titon Rahmawan

Tuesday, June 08, 2004

Pada Hari Kematian Kakek

Ada deru yang tinggalkan kampungku, iringan orang-orang sepanjang arah ke pemakaman sisakan debu yang melekat di ujung rerumputan. Jalanan jadi lengang, angin pun enggan berbisik, “ Kakek telah berpulang.”

Ada ngilu yang tinggal di dada menjelma isak yang tertahan di tenggorokan. Tapi aku tak bisa menangis, karena air mataku telah lama kering seperti juga sawah, tegalan dan sumur - mata air kita satu-satunya.

Kakek seperti menangkap isyarat, bulan yang mulai tua dan enggan menampakkan wajahnya. Jalanan ini telah lama berdebu dan rumah masa kecilku sudah mulai condong ke Barat. Pohon-pohon kelapa di depan rumah tak juga berbuah. Mungkin kakek sudah lelah dan kini ia ingin beristirahat.

Di rumah duka anak-anak kehilangan bapaknya dan cicit-cicit kehilangan cerita sebelum tidur, ayam dan kambing pun merasa kehilangan. Nenek masih menangis sesenggukan menciumi bayangan kekasihnya yang menempel di sajadah (saat sholat Subuh ia pergi). Semua orang menyimpan dukanya sendiri-sendiri.

Aku jadi merindukan hujan. Kuambil sejumput tembakau dan daun jagung kering milik Kakek, kulinting rokok sebatang dan kusulut diam-diam. “Hari ini kurayakan kepergianmu Kakek, pergilah dengan tenang, karena aku tahu di sanalah rumahmu abadi.”

Mengenang kakek istriku – kakekku juga,
18 Februari 2003

Warisan Nenek

Maafkan kami Nenek…hatimu telah tercuri
Bagai cadar embun yang menguap saat mentari tiba
Dan garammu jadi terasa demikian hambar.
Karena engkau adalah sengatan 1000 tawon pada tubuh kami
Tak ada lagi yang berkirim bunga kepadamu saat malam berkabut

Aku mau menangis atas kepapaan diriku
Mengabaikan semua petuah-petuah
Dari mulut nyinyirmu.

Nenek telah kehilangan keranda dan kerudung putih kesayangannya
Membuat semua orang jadi mengerti tentang arti sebuah mimpi.
Burung Tekukur masih nyanyikan lagu duka
Di antara nisan dan bunga kamboja yang berguguran
Kuburan jadi tempat yang begitu asing bagi jiwa-jiwa pemberontak
Di mana nisan cuma batu yang tak lagi tegak
Sedang kubur nenek cuma seonggok tanah
yang telah sepi pula dari kenangan.

Aku mau menangis atas kepapaan diriku
Mengabaikan semua petuah-petuah
Dari mulut nyinyirmu.

Nenek, engkau jadi begitu dingin,
simpan luka-luka dalam rabumu yang membusuk
(ah mungkin saja kau sedih dan kecewa)
Setelah kepergian Kakek tak ada lagi matahari di rumah besar itu!
Dan engkau harus relakan diri dicabik-cabik taring besi serigala
- anak cucumu sendiri yang kelaparan –

Magetan, 2002

Prosesi

Jiwaku terbelenggu oleh ketidak berdayaan
dalam kepulan asap rokok dan kenangan masa kanak-kanak.
Ada lembar catatan yang ingin kurobek dari buku hidupku
dan kukubur dalam bak sampah;
Semua perjalanan sepi dan kesia-siaan yang begitu sulit terlupa
Seperti belenggu yang mencucuk hidungku
dan menggelandangku ke mana-mana.

Aku berjalan dari satu gereja ke lain gereja
menerjemahkan bunyi lonceng
menangkap isyarat pada kerdip lilin
dan berjam-jam berlutut memohon hadirat-Nya.
Aku berasa bukan yang dulu lagi
musafir lelah dan hendak istirahatkan kaki,
tapi sebentar malam kan turun
sedang tujuanku belum juga sampai

Magetan,1998

Lelaki Yang Mati Angin

Engkau mengharap taman saat kukirim bunga pada hari ulang tahunmu, sepiring martabak pada pecahan telur Pondok Kelapa, es krim rasa vanili dan duit 10.000 perak. Aku menantimu di kamar tidur tak berbaju, merayakan kepedihan, seolah penantian akan membuatku terjaga dari kegelapan lampu yang mati sia-sia, bohlam 25 Watt dimakan cicak. Cintaku merayap di dinding hatimu yang retak sudah 7 tahun umurnya, mencatat semua kesepian, kecemburuan, dan penantian, barangkali ada lelah diantara kita diam-diam saja.

Bantal itu beku, juga sarung dan selimut seperti angin yang menggigil kedinginan menjelang fajar. Apakah hati sudah jadi lemari es yang simpan keraguan dan sejuta tanda tanya? Martabak menetes dari dahiku seperti acar yang terlampu banyak cuka menyanyikan kesendirian, buntu, mampat. Kukira kau membenciku dengan caramu sendiri sehingga kau hukum aku seperti ini; membiarkanku memeluk guling yang mati dan menangisi televisi sampai pukul 1 pagi. Bibir sudah penuh isapan jempol, wewangian yang ingkar dari dirinya sendiri, entah kata siapa itu? Sedang malam lewat begitu saja bersama cucuran air dari kran yang bocor, mengalir, mengalir lewat pipa yang gelap menuju got di depan rumah.

12 Mei 2003

Sebuah Pertanyaan Filosofis

Apakah engkau mempercayai kepedihan, yang membaca dirimu dengan tawa?
Apakah engkau mempercayai kebahagiaan, yang menulis dirimu dengan tangis?
Padahal hidup kita adalah sekelumit cerita; persis tawa dan tangis orang-orang gila.
Orang gila toh manusia juga
Tak lebih tak kurang seperti kita
Menghirup luka-luka dengan kedua lubang hidungnya
Membuang najis dengan satu lubang duburnya
Sesungguhnya kita bukan babi atau kera.
Yang rindu mendedah mimpi
Merangkai kata menjadi sebuah puisi
Kadang pula sibuk mencari makna kata-kata yang tersembunyi
Atau mengais-ngais tumpukan alinea yang sangsi atas eksistensinya sendiri
Apakah kau percaya dunia merapuh di mata kita?
Bukankah “manusia” telah disusun kembali dari huruf dan angka
Bukan sekedar menjalani ilusi
Hidup demikian tanpa arti
Seperti puisi hampa makna yang harus disusun kembali dari sebuah kekosongan.

2003

Perempuan

Perempuan, lukislah rembulan dan sentuhlah ia agar bercahaya
rengkuhlah langit dan kecuplah ia agar menangis
peluklah lautku dan kuyupkan aku dengan asmaramu
agar kumati…agar kumati.

Perempuan, lagumu merdu sajakmu syahdu
getarkan kelopak mawar merah birahiku, anggun perawanku
sentuhlah aku, sentuhlah aku
agar habis sangsiku…agar usai cintaku…agar sampai ajalku.

Perempuan, engkau binalku, engkau sajakku
kurangkum engkau dalam basah mimpiku…dalam teduh hasratku
duhai perempuanku
engkau Laksmi-ku, engkau Durga-ku
engkau siang dan malamku
engkau bumi dan lautku
engkau putih dan hitamku
engkau mimpi, engkau mimpi

Perempuanku, mata hatiku
sembilu penusuk dadaku
yang mengisi aku, yang kosong aku
yang rindu aku, yang dendam aku.
Perempuanku seru aku
panggil aku, sebut namaku
agar kumati…agar kumati
dengan senyum di bibir.

Akhir September 2003




This page is powered by Blogger. Isn't yours?